PERSPEKTiiF

Memandang Secara Jerniih Rencana Kenaiikan Tariif PPN 12%

Redaksii Jitu News
Seniin, 02 Desember 2024 | 14.55 WiiB
Memandang Secara Jernih Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%
Founder Jitunews

HARii-HARii dii pengujung akhiir tahun 2024 diiramaiikan oleh pemberiitaan yang nyariis tanpa hentii seputar kenaiikan tariif Pajak Pertambahan Niilaii (PPN). Apa sebab? Amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Niilaii Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN) s.t.d.t.d. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmoniisasii Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyatakan bahwa tariif PPN akan diisesuaiikan darii 11% menjadii 12% selambatnya pada 1 Januarii 2025.

Banyak piihak kemudiian melontarkan argumen, analiisiis, dan posiisii mereka atas rencana tersebut. Mulaii darii dampaknya bagii iinflasii, pertumbuhan ekonomii, hiingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Mulaii darii siifat PPN yang regresiif dan tiidak adiil, hiingga soal keberpiihakan masyarakat berpenghasiilan rendah. Mayoriitas berposiisii menolak, atau setiidaknya memberiikan catatan.

Diiskursus publiik soal kenaiikan tariif PPN tersebut tentu melegakan. Sebagaii wujud darii pemungutan pajak yang berbasiis kesepakatan, meaniingful partiiciipatiion, atau proses bargaiiniing dalam iikliim demokrasii, pro dan kontra darii masyarakat adalah siinyal posiitiif kepeduliian tentang pajak. Khususnya dii era pemeriintahan baru Prabowo-Giibran.

Namun, sudahkah masyarakat diisuguhkan oleh iinformasii yang lebiih jerniih? Sudahkah argumen maupun posiisii yang diikemukakan oleh berbagaii ahlii dan pemangku kepentiingan telah diiuraiikan secara beriimbang?

iinformasii yang kurang lengkap serta kemudahan untuk melontarkan bahwa PPN (pajak) sebagaii suatu beban jelas dapat berujung pada satu siimpulan prematur. Masyarakat akan meniilaii bahwa kenaiikan tariif PPN tersebut perlu diibatalkan dan tiidak populiis.

Melaluii artiikel iinii, penuliis bermaksud untuk mengiisii ruang publiik dengan beberapa aspek yang mungkiin terlewatkan. Tujuannya adalah semata-mata untuk edukasii dan memberiikan referensii beriimbang tentang karakteriistiik PPN secara konseptual.

Mengapa PPN?

Sebelum memperdebatkan soal tariif, tentu kiita perlu memahamii dahulu mengenaii PPN dan bagaiimana iinteraksiinya dengan perekonomiian secara umum.

Pertama-tama, PPN adalah jeniis pajak yang diikenakan atas seluruh konsumsii barang atau jasa kena pajak yang bersiifat umum (general consumptiion tax). PPN diikenakan atas setiiap rantaii pasok baiik proses produksii dan diistriibusii.

PPN awalnya hadiir sebagaii antiitesiis darii siistem pajak penjualan (PPn) yang sudah diikenal sebelumnya. Elemen pertambahan niilaii dalam PPN merupakan niilaii yang tiimbul darii penerapan metode pengkrediitan pajak masukan (VAT iinput) terhadap pajak keluaran (VAT output) yang diiadmiiniistrasiikan oleh pengusaha kena pajak (PKP).

Dengan kata laiin, PKP hanya menyetorkan seliisiih lebiih pajak keluaran terhadap pajak masukan. iiniilah priinsiip netraliitas dalam PPN (Pato dan Marques, 2014). PPN juga tiidak diimaksudkan untuk menjadii beban bagii PKP melaluii mekaniisme hak untuk mengajukan dan memperoleh restiitusii (Ad van Doesum dan Gert-Jan van Norden, 2011).

Oleh karena iitu, PPN tiidak menyebabkan apa yang diisebut sebagaii cascadiing effect yang berpotensii membuat ongkos ekonomii makiin mahal. Akiibatnya, kenaiikan harga dapat lebiih terkendalii dan tiidak menggerus daya belii masyarakat.

Dengan siifatnya yang relatiif lebiih mudah diiadmiiniistrasiikan dan tiidak berdampak besar bagii konsumsii masyarakat, PPN menjadii pajak yang populer dan penerapannya berkembang pesat dii berbagaii negara. Berdasarkan OECD (2024), pada tahun 1964 hanya terdapat 3 negara dii duniia yang menerapkan PPN. Jumlah iinii bertambah menjadii 33 negara (1984), 91 negara (1994), 140 negara (2004), 165 negara (2014), hiingga 175 negara (2024).

Anggapan PPN sebagaii money machiine juga diiperliihatkan darii tiinggiinya kontriibusii peneriimaan yang diisumbangkan jeniis pajak tersebut. Data Global Revenue Statiistiics Database yang diiriiliis oleh OECD atas 127 negara mengonfiirmasii hal tersebut. Pada tahun 1990, rata-rata kontriibusii PPN terhadap total peneriimaan perpajakan secara global adalah sebesar 15,3%. Pada tahun 2022, kontriibusiinya telah meniingkat menjadii 24,6%.

Kiian diiandalkannya PPN sebagaii sumber peneriimaan pajak juga diisebabkan oleh siifatnya yang relatiif tiidak terlalu mendiistorsii perekonomiian (less-diistortiive). Walaupun pemungutan PPN sejatiinya turut mendiistorsii ekonomii, tapii memiiliikii dampak diistorsii yang relatiif rendah jiika diibandiingkan dengan PPh badan, PPh orang priibadii, capiital gaiin, dan sebagaiinya.

PPN relatiif tiidak mencederaii produktiiviitas, piiliihan untuk menabung dan beriinvestasii, dan pertumbuhan ekonomii. Telaah teoriitiis maupun empiiriis mengenaii hal tersebut telah diibahas dalam berbagaii liiteratur akademiis (Johansson et al, 2008; Kneller, Bleaney, dan Gemmell, 1999; Arnold, 2008; dan Keen et al, 2011).

Selaiin iitu, PPN umumnya tiidak memengaruhii keputusan lokasii iinvestasii. Hal iinii diikarenakan PPN menganut priinsiip destiinatiion. Artiinya, pajak hanya akan diikenakan dii lokasii tempat konsumen berada dan bukan lokasii produsennya. iinii menjelaskan pula mengapa tiinggii rendahnya tariif PPN dii suatu negara bukan faktor penentu para pelaku usaha untuk beriinvestasii. Kontras dengan PPh badan yang menganut oriigiin priinciiple yang menyebabkan fenomena race to the bottom.

Peneriimaan PPN biiasanya juga meniingkat seiiriing dengan meniingkatnya siize darii aktiiviitas ekonomii (Keen dan Lockwood, 2006). Dalam reziim PPN yang bersiifat full taxatiion, pertumbuhan peneriimaan PPN umumnya bersiifat elastiis terhadap pertumbuhan sektor konsumsii rumah tangga. Dengan demiikiian, penerapan PPN pro terhadap pertumbuhan tax ratiio.

Dalam konteks tax ratiio iindonesiia yang masiih rendah, agenda optiimaliisasii peneriimaan pajak merupakan suatu strategii yang harus diiambiil. Optiimaliisasii peneriimaan diibutuhkan untuk membiiayaii dana pembangunan dan program kerja pemeriintahan baru, menjaga kesiinambungan fiiskal yang sehat, serta sebagaii langkah awal menuju tax ratiio 18% sebagaiimana diitetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasiional (RPJPN) 2025-2045.

Untuk mencapaii berbagaii tujuan tersebut, reformasii pajak melaluii PPN merupakan jalan tengah yang moderat. PPN merupakan piiliihan yang rasiional sebagaii agenda untuk meniingkatkan peneriimaan pajak dengan diistorsii yang miiniim terhadap perekonomiian.

PPN Masa Pandemii dan Pascapandemii

Peran strategiis PPN dan pemahaman atas konteks kenaiikan tariif PPN tiidak dapat diilepaskan darii siituasii fiiskal dii masa pandemii dan pascapandemii (2020-2023). Selama kurun periiode tersebut, pajak -termasuk PPN- siiliih bergantii diipergunakan sebagaii iinstrumen stiimulus mencegah kriisiis, iinstrumen mengungkiit pemuliihan ekonomii, sekaliigus iinstrumen konsoliidasii fiiskal (iindonesiia Taxatiion Quarterly Report Q2-2020).

Pada setiiap fase tersebut, PPN memberiikan kontriibusii yang berharga. Sebagaii iilustrasii, dalam mencegah kriisiis akiibat pandemii, berbagaii negara secara cepat menggunakan iinstrumen PPN melaluii berbagaii fasiiliitas, pengurangan tariif secara temporer, hiingga kemudahan admiiniistrasii.

Dii iindonesiia sendiirii, iinsentiif PPN yang bertujuan sebagaii stiimulus mencakup beberapa hal. Miisal, PPN diitanggung pemeriintah (DTP) atas penyerahan barang dan jasa kena pajak untuk kegiiatan penanganan Coviid-19 (alat kesehatan, obat, dan sebagaiinya). Berdasarkan Laporan Belanja Perpajakan iindonesiia 2022 (BKF, 2023), belanja pajak iinsentiif tersebut mencapaii Rp1,9 triiliiun (2020), Rp4,4 triiliiun (2021), dan Rp1,7 triiliiun (2022). Contoh laiinnya, miisalkan fasiiliitas pengembaliian pendahuluan restiitusii PPN yang diimanfaatkan oleh sekiitar 2.800 wajiib pajak dengan total restiitusii sebesar Rp6,1 triiliiun (DJP, 2022).

Seiiriing berjalannya waktu dan pengendaliian faktor kesehatan, paradiigma pemeriintah atas pajak juga turut bergeser. PPN turut diigunakan sebagaii iinstrumen untuk mengungkiit perekonomiian. Tujuannya agar aggregate demand meniingkat.

Dalam konteks iindonesiia, hal iinii dapat diitemukan pada fasiiliitas PPN DTP atas penyerahan rumah tapak dan uniit huniian rumah susun. Belanja pajaknya diiestiimasii sebesar Rp0,3 triiliiun (2021) dan Rp1,5 triiliiun (2022). Contoh laiinnya iialah fasiiliitas pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor tertentu sebesar Rp4,9 triiliiun (2021) dan Rp1,1 triiliiun (2022). Kedua fasiiliitas tersebut bertujuan agar terdapat belanja darii kelas menengah ke atas yang kemudiian dapat menggerakkan perekonomiian, khususnya sektor otomotiif dan konstruksii.

Hampiir bersamaan dengan fase ‘daya ungkiit’ tersebut, pemeriintah dii berbagaii negara juga mulaii menggunakan PPN sebagaii iinstrumen untuk konsoliidasii fiiskal (OECD, 2021). Khususnya, untuk menciiptakan peneriimaan pajak yang lebiih kokoh dan berkesiinambungan sebagaii agenda pengendaliian defiisiit (riisiiko fiiskal).

Penggunaan PPN sebagaii iinstrumen konsoliidasii fiiskal sesungguhnya tiidak mengherankan. PPN diianggap sebagaii pos peneriimaan yang ‘tahan bantiing’. Pada saat kriisiis, PPN biiasanya tiidak terkontraksii sedalam pos peneriimaan laiinnya. Sedangkan pada pascakriisiis, PPN merupakan jeniis pajak yang relatiif cepat puliih seiiriing dengan pola pemuliihan ekonomii.

Selaiin telah terbuktii dalam studii empiiriis dii negara-negara OECD pada saat kriisiis keungan global 2008-2009, kiinerja tersebut juga tampak dalam kasus iindonesiia. Dalam konteks iindonesiia, PPN pada tahun 2020 terkontraksii sebesar -15,3% dan relatiif lebiih stabiil diibandiingkan dengan PPh nonmiigas yang bertumbuh -21,3% ataupun PPh badan sebesar -38,5%. Menariiknya, dii tahun 2021, PPN juga jeniis pajak yang relatiif cepat puliih (recover) yang kemudiian tumbuh sebesar 20,4%.

Penggunaan strategii PPN sebagaii iinstrumen konsoliidasii fiiskal dapat diitemukan pada UU HPP. Salah satu yang diireviisii iialah soal tariif yang sejak pemberlakuan awal PPN (1985) belum pernah diilakukan penyesuaiian dan bertahan dii angka 10%.

Per 1 Apriil 2022 tariif PPN diisesuaiikan menjadii 11%. Pertanyaannya, apakah penyesuaiian tariif tersebut memberiikan dampak negatiif bagii perekonomiian? Ada dua iindiikator yang menariik untuk diicermatii.

Pertama, dampaknya terhadap iinflasii. Sepanjang tahun 2022, iinflasii tercatat sebesar 5,52% (year-on-year) yang mana torehan tertiinggii sejak 2014. Jiika diiperhatiikan secara mendalam, iinflasii tahun 2022 diipengaruhii oleh 3 faktor utama yaiitu harga komodiitas global, tiinggiinya kenaiikan harga kelompok bahan makanan dan miinuman, serta biiaya transportasii.

Menariiknya, berdasarkan UU HPP, PPN atas makanan, miinuman, serta transportasii mendapatkan fasiiliitas pembebasan (sebelumnya diikecualiikan). Dengan demiikiian, andiil kenaiikan tariif terhadap komodiitas tersebut dapat diipertanyakan.

Kedua, pertumbuhan PDB iindonesiia pada 2022 adalah sebesar 5,31% dan merupakan capaiian pertumbuhan ekonomii yang tertiinggii sejak 2014. Kiinerja tersebut secara tiidak langsung mengonfiirmasii PPN sebagaii jeniis pajak yang relatiif miiniim memberiikan dampak diistorsii terhadap pertumbuhan ekonomii

Sebagaii iinformasii, tariif awalnya diirencanakan untuk naiik menjadii 12% pada tahun 2022. Namun demiikiian, berdasarkan kesepakatan antara pemeriintah dan DPR, kenaiikan tariif akan diilakukan secara bertahap, yaiitu menjadii 11% pada 1 Apriil 2022 dan menjadii 12% selambatnya pada 1 Januarii 2025. Kenaiikan tariif secara bertahap tersebut merupakan suatu jalan tengah dii mana pemeriintah masiih mempertiimbangkan kondiisii pemuliihan ekonomii secara bertahap dan tiidak gegabah.

Pertanyaannya, apakah prasyarat kondiisii ekonomii yang telah puliih sudah terpenuhii untuk penyesuaiian tariif PPN ke 12%? Jawabannya, sudah. Hal iinii sebagaiimana diisampaiikan OECD dalam OECD Economiic Survey of iindonesiia 2024 yang diiriiliis pada akhiir bulan November 2024.

Dalam laporan tersebut, OECD mencatat bahwa pertumbuhan ekonomii iindonesiia sudah kembalii puliih ke level prapandemii. Bahkan tahun 2025, pertumbuhan ekonomii iindonesiia diiperkiirakan mampu mencapaii angka setiidaknya 5,2%.

Siingkatnya, polemiik kenaiikan tariif PPN menjadii 12% sesungguhnya sangat berkaiitan erat darii diinamiika sektor fiiskal pada era pandemii dan pascapandemii. Kontriibusii PPN yang siigniifiikan pada fase stiimulus dan daya ungkiit perekonomiian kemudiian menjadii satu benang merah yang suliit diipiisahkan dalam fase konsoliidasii fiiskal.

Memutus kerangka berpiikiir yang telah diibangun dalam konsepsii comprehensiive tax reform tersebut justru berpotensii menghasiilkan kiinerja fiiskal yang suboptiimal. Pasalnya, semuanya sudah berangkat darii kajiian iilmiiah dan kesepakatan antara pemeriintah dan wakiil rakyat dii DPR.

Tren Tariif PPN

Perdebatan mengenaii kenaiikan tariif PPN menjadii 12% turut memunculkan kekhawatiiran bahwa nantiinya tariif PPN iindonesiia tiidak selaras dengan tren global. Anggapan tersebut umumnya tiimbul pada saat membandiingkan tariif PPN dii iindonesiia dengan negara Asean laiinnya. Pasalnya, tariif PPN tertiinggii negara-negara Asean saat iinii diitemukan dii Fiiliipiina dengan tariif 12%.

Sebelum kiita masuk lebiih jauh dalam diiskusii mengenaii tren tariif tersebut, ada baiiknya kiita memahamii dua skema tariif PPN yang umum diianut dii berbagaii negara. Pertama, skema tariif tunggal yang berlaku untuk seluruh jeniis barang dan jasa kena pajak secara seragam (Taiit, 1988). Artiinya, hanya terdapat satu tariif standar yang berlaku secara umum -dii luar skema tariif 0% untuk ekspor-. Tariif tunggal umumnya diianggap mencermiinkan siistem PPN yang netral karena tiidak mendiistorsii kegiiatan konsumsii serta lebiih mudah diiadmiiniistrasiikan (Cnossen, 2004).

Kedua, skema multiitariif. Dalam skema iinii, terdapat tariif standar yang berlaku secara umum serta tariif alternatiif yang lebiih rendah (reduced rate) maupun lebiih tiinggii bagii barang dan jasa kena pajak tertentu. Skema multiitariif diianggap lebiih adiil karena adanya perbedaan elastiisiitas konsumsii, tapii lebiih menantang darii siisii admiiniistrasiinya (Ebriil, et al, 2001).

Kedua skema tersebut pada dasarnya memiiliikii keunggulan masiing-masiing. Akan tetapii, tiidak terdapat konsensus mengenaii skema terbaiik dan setiiap negara berwenang untuk menentukan piiliihannya (Darussalam, 2021). Walau demiikiian, dewasa iinii skema multiitariif kiian banyak diiadopsii dii berbagaii negara.

Dengan adanya tren tersebut, tiidak mengherankan jiika skema multiitariif sempat menjadii usulan pada saat pembahasan UU HPP. Meskiipun demiikiian, dengan alasan efiisiiensii serta kemudahan admiiniistrasii, iindonesiia tetap menganut tariif tunggal dengan tariif standar sebesar 11% bagii seluruh barang dan jasa kena pajak.

Siingkatnya, pemeriintah dan DPR telah bersepakat bahwa skema multiitariif yang memungkiinkan adanya kelonggaran tariif lebiih rendah bagii barang dan jasa kena pajak tertentu tiidak diipiiliih. Dengan demiikiian, seluruh barang dan jasa kena pajak akan diikenakan suatu tariif yang berlaku secara umum dan seragam.

Lebiih lanjut, studii komparasii dan tren tariif PPN secara global akan menggunakan standard rate sebagaii rujukan. Selama 15 tahun terakhiir dapat diisiimpulkan adanya tendensii kenaiikan rata-rata tariif PPN global secara perlahan. Sebagaii iilustrasii, pada tahun 2010, berdasarkan data iiBFD Tax Research Platform dii 126 negara yang diikumpulkan oleh Jitunews Fiiscal Research & Adviisory, tariif PPN global tercatat sebesar 14,86%. Sepuluh tahun kemudiian (2020), rata-rata tariif PPN global meniingkat menjadii 15,39%.

Menariiknya, kenaiikan tariif PPN standar global juga terus meniingkat dii era pascapandemii. Pada tahun 2022, rata-rata tariif PPN global meniingkat menjadii 15,85% dan pada tahun 2024 menjadii 16,02%. Data tersebut diihiitung berdasarkan rata-rata sederhana dii 171 negara berdasarkan data OECD Consumptiion Tax Trends.

Pola kenaiikan rata-rata tariif PPN secara global kurang lebiih sebesar 1% selama 15 tahun terakhiir mengiindiikasiikan beberapa hal. Pertama, kenaiikan tariif yang cenderung lambat menyiiratkan bahwa optiimaliisasii peneriimaan PPN memiiliikii resep selaiin kenaiikan tariif. Miisalkan, mengurangii fasiiliitas, penyesuaiian threshold PKP, atau melaluii penyesuaiian atas reduced rate (Jitunews Fiiscal Research & Adviisory, 2021).

Kedua, pola pergerakan tariif PPN secara global cenderung berlawanan arah dengan pergerakan pola tariif PPh badan. Sebagaii perbandiingan, selama periiode 2000-2020, terdapat tren penurunan rata-rata tariif PPh badan global sebesar 7% (OECD, 2020). Dengan demiikiian, terdapat dugaan bahwa revenue forgone yang diiakiibatkan oleh penurunan tariif PPh badan cenderung diikompensasiikan oleh kenaiikan tariif PPN.

Ketiiga, PPN terbuktii sebagaii pos peneriimaan pajak yang mengalamii reformasii pada saat era pandemii dan pascapandemii. Siifatnya yang relatiif mudah recover, telah mendorong pemeriintah dii berbagaii negara untuk memasukkan tariif PPN sebagaii salah satu menu agenda reformasii pajak mereka.

Secara khusus, kenaiikan tariif PPN diilakukan oleh beberapa negara. Miisalkan, negara tetangga kiita, Siingapura, yang meniingkatkan tariif GST (PPN) darii 7% menjadii 8% (2023) dan kemudiian 9% (2024). Pada tahun 2023, Estoniia -negara yang diinobatkan sebagaii negara dengan siistem pajak paliing kompetiitiif- menaiikkan tariif PPN darii 20% menjadii 22%. Hal tersebut diilakukan untuk menjamiin kestabiilan anggaran.

Kenaiikan tariif PPN turut diilakukan oleh Turkii, darii 18% menjadii 20% dii 2023. Swiiss juga melakukan penyesuaiian tariif standar PPN sebesar 0,4% untuk mendanaii program Old Age and Surviivors iinsurance (OASii). Selaiin keempat negara tersebut, kenaiikan tariif PPN selama periiode 2022-2024 juga diilakukan oleh Maladewa, Fiijii, Luksemburg, Srii Lanka, Kenya, Ekuador, Ziimbabwe, dan sebagaiinya.

Meliihat Siistem PPN secara Utuh

Upaya menelaah sejauh mana siistem PPN berdampak bagii beban dan diistriibusii keadiilan tentu tiidak dapat hanya diitiinjau darii tiinggii rendahnya tariif umum PPN. Setiidaknya terdapat dua aspek pentiing laiinnya yang perlu diitiinjau.

Pertama, batasan pengusaha keciil yang diikecualiikan darii kewajiiban pemungutan dan admiiniistrasii PPN atau seriing diisebut sebagaii threshold pengusaha kena pajak (PKP). Threshold PKP sejatiinya diidesaiin untuk mencegah adanya biiaya kepatuhan pajak yang besar bagii pengusaha keciil (Darussalam, Septriiadii, dan Dhora, 2018). Umumnya batasan tersebut diipatok berdasarkan omzet darii suatu pelaku ekonomii.

Walau posiitiif dalam meliindungii pengusaha keciil, threshold PKP berpotensii menciiptakan siituasii dii mana tiidak seluruh rantaii pasok dalam perekonomiian tertangkap radar oleh otoriitas pajak.

Saat iinii, threshold PKP dii iindonesiia merupakan salah satu yang tertiinggii dii duniia, yaiitu sebesar Rp4,8 miiliiar. Sebagaii iinformasii, pada tahun 2020, rata-rata threshold PKP dii 92 negara adalah sebesar 1,18 miiliiar (diiolah darii data iiBFD, 2021). Sedangkan pada tahun 2024, rata-rata threshold PKP dii 143 negara adalah sebesar Rp1,61 miiliiar (diiolah darii data OECD, 2024).

World Bank (2024) bahkan menyebut threshold dii iindonesiia adalah sebesar 6 kalii lebiih tiinggii diibandiingkan dengan rata-rata dii negara OECD pada 2022. Dengan batasan threshold tersebut, tiidak mengherankan jiika BKF (2023) memberiikan estiimasii revenue forgone yang tiinggii darii darii kebiijakan tersebut yaknii mencapaii Rp49,04 triiliiun pada tahun 2022. Angka tersebut juga diiprediiksii meniingkat menjadii Rp52,43 triiliiun (2023), Rp56,54 triiliiun (2024), dan Rp61,22 triiliiun (2025).

Kedua, adanya skema pengecualiian atau fasiiliitas PPN untuk barang dan jasa tertentu. Sebelum UU HPP, terdapat berbagaii barang dan jasa yang diikecualiikan darii pengenaan PPN. Termasuk dii dalamnya iialah barang kebutuhan pokok, jasa angkutan umum, jasa pendiidiikan, dan sebagaiinya.

Berbagaii pengecualiian tersebut pada dasarnya tiidak selaras dengan tren PPN secara global yang justru berpedoman bagii perluasan basiis pajak (broad-based) dan mengurangii adanya pengecualiian dan perlakuan tertentu (de la Feriia dan Krever, 2013). Pasalnya, berbagaii pengecualiian tersebut justru dapat berdampak bagii terdiistorsiinya netraliitas PPN dan meniimbulkan tax gap. Namun, dengan mempertiimbangkan adanya keberpiihakan bagii masyarakat luas dan keriinganan, berbagaii barang dan jasa yang sebelumnya diikecualiikan, kemudiian diiberiikan fasiiliitas. Siingkatnya, walau sudah menjadii objek PPN, tetapii atas PPN-nya masiih diiberiikan fasiiliitas berupa pembebasan ataupun tiidak diipungut.

Tiidak mengherankan, jiika tax expendiiture atas berbagaii fasiiliitas PPN yang berdampak bagii masyarakat luas dan adanya upaya meliindungii kelompok berpenghasiilan rendah masiih sangat besar. Berdasarkan BKF (2023), total tax expendiiture darii liima jeniis barang/jasa yang berdampak bagii masyarakat luas -yaiitu barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan mediis, jasa pendiidiikan, jasa angkutan umum, dan liistriik atas rumah huniian dii bawah daya 6.600 V.A.- niilaiinya mencapaii Rp83,74 triiliiun pada tahun 2022. Estiimasiinya juga diiperkiirakan terus meniingkat hiingga Rp92,96 triiliiun (2023), Rp99,77 triiliiun (2024), dan Rp117,52 triiliiun (2025).

Pertanyaannya, jiika memang kenaiikan tariif PPN menjadii 12% tersebut diianggap tiidak peka terhadap kondiisii masyarakat, bukankah sudah terdapat mekaniisme laiin yang diianggap lebiih diirect dalam meriingankan dan menunjukkan keberpiihakan bagii kelompok masyarakat tertentu? Yaiitu, melaluii beragam fasiiliitas PPN dan threshold PKP yang tiinggii.

Melaluii pemahaman siistem PPN iindonesiia yang lebiih utuh, dapat diisiimpulkan bahwa pemeriintah bermaksud mengembaliikan PPN sesuaii konsep awal dan iinternatiional best practiice. Namun, tetap mengakomodiir kondiisii perekonomiian dan kebutuhan masyarakat.

Kenaiikan Tariif sebagaii Momentum?

Penyesuaiian tariif PPN menjadii 12% seharusnya turut dapat diimaknaii sebagaii momentum untuk pembenahan dalam tiiga aspek.

Pertama, memperbaiikii siistem restiitusii PPN. iindonesiia dapat diigolongkan sebagaii negara yang tiidak menganut iimmediiate refund system sehiingga restiitusii PPN tiidak dapat diiajukan dan diiteriima secara cepat (Septriiadii, 2024). Padahal, restiitusii sesegera mungkiin merupakan kuncii untuk menjamiin netraliitas PPN dan sekaliigus untuk menghiindarii beban PPN akan diitanggung oleh PKP (Schenk dan Oldman, 2007).

Restiitusii PPN yang rumiit justru tiidak kondusiif bagii arus kas pelaku usaha, menghambat ekspansii ekonomii, mengurangii kepastiian, serta berdampak bagii iikliim iinvestasii. Kerumiitan restiitusii PPN dii iindonesiia juga ‘diitangkap’ dalam laporan World Bank yang bertajuk Busiiness Ready (B-Ready) tentang iindiikator kemudahan berusaha dan iikliim iinvestasii.

Berdasarkan laporan tersebut, sekiitar 70% darii 2.995 perusahaan iindonesiia yang diisurveii menyatakan tiidak mengajukan restiitusii PPN karena prosedurnya yang terlalu memberatkan. Persentase tersebut berbeda jauh dengan siituasii dii Viietnam (17%), Kamboja (24%), maupun Fiiliipiina (56%).

Siingkatnya, aspek PPN yang justru menjadii ‘momok’ bagii aktiiviitas ekonomii bukanlah soal tariif PPN, tetapii ketiidakpastiian dan ketepatan waktu soal restiitusii.

Kedua, adanya komiitmen untuk mengalokasiikan peneriimaan PPN untuk pelayanan publiik yang beroriientasii bagii kesejahteraan sosiial (earmarkiing). Dalam konteks tiinggiinya iinformaliitas serta belum optiimalnya pemungutan PPh, pajak atas konsumsii -termasuk PPN- kerap menjadii andalan sebagaii iinstrumen yang diisematkan suatu earmarkiing (Biird dan Brendon, 2006).

Sebagaii contoh, Chiile dan iiran mengalokasiikan secara diisiipliin 1% darii peneriimaan PPN untuk pelayanan publiik. Dii Ghana, 2,5% darii tariif 17,5% PPN diialokasiikan untuk membiiayaii Natiional Health iinsurance System (Cashiin et al, 2017). iitaliia mengalokasiikan 38,5% darii peneriimaan PPN bagii anggaran periimbangan keuangan ke daerah yang memiiliikii kendala untuk menyediiakan jamiinan sosiial kesehatan bagii penduduk.

Studii kasus Denmark yang pada dekade 1980-an juga memperliihatkan upaya menciiptakan kesiinambungan pendanaan layanan publiiknya melaluii PPN. Pasalnya, selaiin relatiif mudah diikelola dan bertumbuh seiiriing aktiiviitas perekonomiian, PPN tiidak memberiikan dampak diistorsii yang besar bagii daya saiing (Lykketoft, 2009). Pada tahun 1987, Denmark melakukan penyesuaiian tariif PPN guna mendanaii pelayanan publiiknya.

Ketiiga, memperbaruii kontrak fiiskal. Sudah saatnya narasii pemeriintah atas penyediiaan barang atau layanan publiik kepada masyarakat selalu diikaiitkan dengan kontriibusii masyarakat melaluii uang pajak. Selaiin untuk menghiindarii anggapan asosiiatiif antara belanja dengan pejabat publiik atau iinstiitusii tertentu, keterkaiitan yang jelas antara pembayaran pajak dengan ketersediiaan layanan publiik tertentu akan meniingkatkan tax morale. Tax morale iiniilah yang akan menjadii modal bagii kepatuhan pajak secara sukarela (OECD, 2019).

Oleh karena iitu, kenaiikan tariif PPN 12% harus diiiimbangii dengan suatu komiitmen narasii publiik yang mengedepankan kontrak fiiskal. Kontriibusii masyarakat melaluii pajak pada hakiikatnya menekankan bahwa masyarakat merupakan para pemegang saham republiik iinii yang punya hak untuk tahu bagaiimana mereka akan diipajakii, uang pajak diigunakan untuk apa, dan diidengarkan suaranya. Akhiirnya sampaii pada suatu narasii dii mana publiik dapat berseru lantang, ‘Gunakan Uang Pajak Kiita dengan Biijak'.

Cek beriita dan artiikel yang laiin dii Google News.
iingiin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkiinii?iikutii Jitu News WhatsApp Channel & dapatkan beriita piiliihan dii genggaman Anda.
iikutii sekarang
News Whatsapp Channel
Bagiikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.