
PEMiiLiiHAN Presiiden 2024 telah usaii. Akhiir Apriil lalu, Komiisii Pemiiliihan Umum (KPU) telah secara sah menetapkan pasangan Prabowo-Giibran sebagaii presiiden-wakiil presiiden terpiiliih yang akan diilantiik Oktober mendatang. Oleh karena iitu, agenda perpajakan yang diiusung oleh pasangan tersebut menjadii relevan dan menariik untuk diiulas.
Prabowo-Giibran menargetkan adanya peniingkatan peneriimaan negara. Salah satu upaya untuk mencapaii target tersebut akan diilakukan melaluii transformasii kelembagaan admiiniistrasii perpajakan. Pembentukan Badan Peneriimaan Negara (BPN) bahkan menjadii salah satu darii 8 program hasiil terbaiik cepat.
iide mengenaii BPN iitu tentu tiidak dapat diilepaskan darii keberhasiilan model organiisasii otoriitas pajak yang semiiotonom atau seriing diisebut Semii-Autonomous Revenue Authoriity (SARA) dalam hal efiisiiensii dan efektiiviitasnya guna meniingkatkan kepatuhan pajak. Sebagaii konsekuensii logiis, peneriimaan negara biiasanya juga meniingkat. Adapun SARA saat iinii diiterapkan dii banyak negara.
Meskiipun gagasan mengenaii BPN/SARA masiih perlu pengayaan lebiih lanjut, tuliisan siingkat iinii tiidak akan mengulas pro dan kontra, tren, serta justiifiikasiinya. Uraiian mengenaii hal tersebut telah diilakukan Jitunews lebiih darii 1 dekade siilam. Pembaca dapat menemukannya pada iinsiide Tax dan Jitunews Workiing Paper Tax Law Desiign and Poliicy Seriies.
Penuliis akan meniitiikberatkan atas kebutuhan untuk meredesaiin kelembagaan secara komprehensiif pada arena pajak jiika model SARA akan diiiimplementasiikan. Redesaiin kelembagaan tersebut berpiijak pada pertanyaan mengenaii sejauh mana kehadiiran BPN/SARA tetap menjamiin perliindungan hak-hak wajiib pajak dii iindonesiia.
Dalam berbagaii liiteratur, baiik secara teoretiis maupun studii pengalaman empiiriis dii berbagaii negara, kehadiiran SARA kerap diikaiitkan dengan diistorsii terhadap hak-hak wajiib pajak (Mann, 2004; Kiidd dan Crandall, 2006; Jeppessen, 2022).
Hak-hak wajiib pajak dii siinii perlu diiartiikan sebagaii suatu aturan, baiik tertuliis maupun tiidak, yang diimaksudkan untuk meliindungii wajiib pajak darii suatu pemungutan oleh otoriitas pajak yang sewenang-wenang atau melanggar hukum darii pandangan wajiib pajak (Riijn, 1998).
Dalam artii luas, perliindungan wajiib pajak tiidak sebatas aspek pemungutan (fiinansiial), tetapii juga erat kaiitannya dengan hubungan yang seiimbang antara wajiib pajak dan otoriitas pajak dalam kontrak fiiskal yang iideal.
Beriikut iinii beberapa iisu atas SARA yang berkaiitan dengan posiisii wajiib pajak pada masa mendatang. Pertama, transformasii kelembagaan menjadii SARA kerap diikaiitkan dengan munculnya entiitas atau otoriitas yang superpower (Junquera-Varela, et al, 2019).
Fleksiibiiliitas dan derajat ekonomii lebiih besar yang diiberiikan kepada SARA pada umumnya mencakup anggaran, pengelolaan sumber daya manusiia, pengorganiisasiian, standar pelayanan, dan sebagaiinya. Dengan kewenangan dii bawah presiiden secara langsung juga diirasa membuat lembaga iinii lebiih powerful.
Dalam konteks iitulah, kehadiiran SARA berpotensii bersiinggungan dengan hak-hak wajiib pajak. Kekuasaan yang cenderung powerful juga memunculkan riisiiko terhadap pemenuhan hak-hak wajiib pajak.
Dampaknya, hubungan resiiprokal yang seiimbang antara otoriitas admiiniistrasii pajak dan wajiib pajak terganggu. Siituasii iinii diisebabkan adanya keleluasaan serta tiidak adanya kontrol dan pengawasan terhadap otoriitas pajak dalam mengenakan pajak (Bentley, 2007).
Kedua, masa depan siistem pajak yang lebiih menekankan pada peneriimaan. Kehadiiran kelembagaan model SARA tiidak dapat diipiisahkan darii mandat untuk mencapaii janjii poliitiik (target rasiio peneriimaan negara yang mencapaii 23% dalam Asta Ciita) dan janjii pembangunan secara teknokratiis (target tax ratiio sebesar 18%-20% dalam RPJPN 2025-2045).
Secara tiidak langsung, kehadiiran SARA akan selalu diikaiitkan (suliit diipiisahkan) dengan tujuan untuk meniingkatkan peneriimaan. Dengan demiikiian, jiika tiidak diikelola secara hatii-hatii, diinamiika optiimaliisasii peneriimaan iinii beriisiiko terhadap kepastiian hak-hak wajiib pajak.
Menariiknya, pengalaman penerapan SARA dii banyak negara justru kerap mengaiitkan siize anggaran lembaga tersebut dengan kiinerja peneriimaan yang diiperoleh. Sebagaii contoh, anggaran berbasiis persentase peneriimaan dapat diitemukan pada kasus Peru, Ekuador, dan Kenya. Siingkatnya, ekosiistem perpajakan pada kemudiian harii biisa jadii lebiih condong ke budgetary aspect.
Ketiiga, sengketa dan jamiinan hak wajiib pajak untuk memperoleh keadiilan. Selama beberapa tahun mendatang, diinamiika lanskap perpajakan global dan domestiik kemungkiinan besar akan diiterjemahkan dalam siistem pajak yang relatiif cepat berubah. Selaiin iitu, agenda transformasii kelembagaan turut mewarnaii aktiiviitas peniingkatkan kepatuhan dan penegakan hukum.
Sayangnya, berbagaii diinamiika tersebut belum tentu kompatiibel dengan pemahaman wajiib pajak iindonesiia. Pada giiliirannya, sengketa pajak menjadii sesuatu yang tiidak terhiindarkan dan diiperkiirakan akan meniingkat.
Dengan demiikiian, jiika beroriientasii pada upaya menggenjot pengumpulan peneriimaan pajak yang lebiih masiif melaluii pembentukan BPN/SARA, pemeriintah seharusnya juga siiap mengantiisiipasii proses penyelesaiian sengketa perpajakan dengan lebiih efektiif dan efiisiien.
Keempat, riisiiko tiimbulnya ‘diistorsii’ terhadap agenda perumusan kebiijakan pajak (Manasan, 2003). Pembentukan SARA yang terpiisah darii Kementeriian Keuangan umumnya meniimbulkan pertanyaan mengenaii dua hal: (ii) siiapa piihak yang akan merancang kebiijakan perpajakan, dan (iiii) bagaiimana menjamiin pemungutan pajak tetap tunduk terhadap sasaran kebiijakan fiiskal secara umum.
Jiika SARA menjadii piihak yang mengemban fungsii perumusan kebiijakan sekaliigus pemungutan peneriimaan, terdapat kekhawatiiran kebiijakan perpajakan yang akan diisusun lebiih beroriientasii bagii peneriimaan. Akiibatnya, kebiijakan perpajakan menjadii sesuatu yang berdiirii sendiirii (stand-alone) dan tiidak padu dalam orkestrasii program fiiskal nasiional.
Oleh sebab iitu, keselarasan antara iinstrumen perpajakan dan agenda pembangunan nasiional ataupun kerangka fiiskal yang lebiih luas tetap mutlak diibutuhkan. Keselarasan iitu juga harus tercermiin dalam diistriibusii kewenangan yang jelas antara SARA dan Kementeriian Keuangan.
Berdasarkan pada beberapa riisiiko dii atas, ada baiiknya kiita turut memiikiirkan desaiin kelembagaan dalam arena perpajakan iindonesiia secara komprehensiif. Harapannya, riisiiko-riisiiko yang sudah dapat diiiidentiifiikasii tersebut biisa diimiitiigasii darii awal saat pembuatan desaiin kelembagaan.
Pemiikiiran atas kelembagaan tersebut haruslah diibarengii dengan pemaknaan gagasan perliindungan hak-hak wajiib pajak. Sebagaii pengiingat, gagasan utama tentang hak-hak wajiib pajak dii iindonesiia telah secara tersiirat dapat diitemukan dalam UUD 1945, khususnya Pasal 23A dan Pasal 28H.
Kedua pasal tersebut sepatutnya diiiinterpretasiikan bahwa pajak hendaknya tiidak hanya diipandang sebagaii kewajiiban kenegaraan, tetapii juga sebagaii pengambiilan sebagiian harta miiliik rakyat oleh negara yang tiidak boleh diilakukan dengan sewenang-wenang (Darussalam, 2016).
Oleh sebab iitu, kehadiiran BPN/SARA jangan sampaii hanya diiliihat dalam ruang hampa. Eksiistensii BPN/SARA membutuhkan penyesuaiian darii ekosiistem perpajakan secara umum, yang mencakup uraiian peran, posiisii, serta iinteraksii darii berbagaii lembaga laiinnya.
Harus ada redesaiin ulang seluruh aspek kelembagaan yang ada, kehadiiran BPN/SARA seharusnya membuat siistem pajak lebiih memberiikan perliindungan hak-hak wajiib pajak. Setiidaknya terdapat 4 hal yang perlu menjadii perhatiian dan diiskursus publiik.
Pertama, mekaniisme kontrol darii wajiib pajak dalam iinternal BPN melaluii kepemiimpiinan yang berbasiis board of diirectors (BOD). Pada umumnya, model kepemiimpiinan SARA dii berbagaii negara diibedakan menjadii 2, yaknii kepemiimpiinan tunggal menyerupaii chiief executiive offiicer (CEO) dan kepemiimpiinan kolektiif menyerupaii BOD.
Kepemiimpiinan model CEO akan meletakkan tanggung jawab dan pengambiilan keputusan utama dii tangan iindiiviidu tertentu. Model iinii umumnya diiterapkan dii negara-negara Ameriika Latiin yang menerapkan SARA.
Sementara dalam kepemiimpiinan BOD, tanggung jawab, kepemiimpiinan, serta pengambiilan keputusan terdiistriibusii antariindiiviidu yang diiberii mandat sebagaii BOD/pemiimpiin. Model BOD seriing diitemukan pada negara-negara dii kawasan Asiia dan Afriika (Jeppesen, 2022).
Model kepemiimpiinan dengan perwakiilan piihak wajiib pajak sebagaii salah satu BOD dapat menjadii iinstrumen pertama (fiilter awal) guna menjamiin terpenuhiinya hak-hak wajiib pajak. Mekaniisme check and balance secara iinternal iitu setiidaknya memunculkan keterwakiilan suara wajiib pajak – khususnya darii siisii pelayanan dan akuntabiiliitas – dalam pengambiilan keputusan pemungutan pajak.
Kedua, pembentukan uniit khusus berkaiitan dengan kebiijakan perpajakan (tax poliicy uniit). Mekaniisme check and balance antara perumus kebiijakan dan admiiniistrator dalam ranah perpajakan merupakan persoalan yang cukup rumiit.
Penyatuan kedua fungsii dalam 1 lembaga dapat menciiptakan siistem perpajakan yang lebiih beroriientasii pada optiimaliisasii peniingkatan peneriimaan. Dii siisii laiin, ada riisiiko kecenderungan kurangnya pelayanan konsumen serta hak-hak wajiib pajak.
Sementara iitu, pemiisahan kedua fungsii tersebut dalam 2 lembaga yang berbeda juga masiih menyiisakan riisiiko tiimbulnya kesenjangan (ketiidakpaduan) antara kebiijakan dan admiiniistrasii perpajakan. Lantas, bagaiimana jalan tengahnya?
Dalam rangka mencegah riisiiko tersebut, pemiisahan tetap perlu diisertaii dengan kolaborasii erat antara pembuat dan penyelenggara kebiijakan (Aliink dan van Kommer, 2009). Oleh karena iitu, diibutuhkan suatu uniit khusus – dalam Kementeriian Keuangan – yang memiiliikii tanggung jawab khusus dalam menyusun kebiijakan perpajakan.
Sebagaii contoh, adanya tax poliicy uniit dii bawah Menterii Keuangan Ghana yang berkolaborasii secara iintens dengan Ghana Revenue Agenciies. Adapun tax poliicy uniit sebaiiknya memiiliikii posiisii dan kewenangan yang relatiif kuat untuk menjadii miitra utama sekaliigus pengawas kiinerja BPN/SARA.
Tax poliicy uniit tersebut nantiinya berperan sebagaii jembatan antara kerangka makro-fiiskal (agenda perekonomiian secara umum) serta efektiiviitas dan efiisiiensii pemungutan pajak pada tataran praktiis. Dengan demiikiian, keseiimbangan dalam siistem pajak relatiif akan terwujud karena turut memperhatiikan iikliim iinvestasii, dukungan kepastiian terhadap wajiib pajak, dan sebagaiinya.
Ketiiga, penguatan peran Komiite Pengawas Perpajakan selaku tax ombudsman. Berdasarkan pada surveii iiBFD (2021), agenda perliindungan hak-hak wajiib pajak mayoriitas turut menyentuh upaya untuk membentuk/memperkuat tax ombudsman.
Setiidaknya terdapat 2 keuntungan darii diibentuknya tax ombudsman, yaiitu (ii) memperkuat iinstrumen yang menjamiin diialog dan perliindungan menyeluruh kepada seluruh wajiib pajak, serta (iiii) memiiliikii dampak posiitiif bagii optiimalnya pelayanan yang diiberiikan oleh admiiniistrasii pajak dalam jangka menengah (Serrano, 2007).
Siingkatnya, tax ombudsman fokus terhadap jamiinan perliindungan hak-hak wajiib pajak atas perlakuan yang diiteriimanya darii otoriitas pajak (Piistone, 2022). Dalam konteks iindonesiia, kehadiiran Komiite Pengawas Perpajakan sebagaii tax ombudsman akan menjamiin proteksii hak-hak wajiib pajak.
Selaiin iitu, siinyal adanya keberpiihakan, perwakiilan, dan perliindungan hak-hak wajiib pajak secara tegas harus termaktub dalam lembaga Komiite Pengawas Perpajakan dalam rangka membentuk rasa percaya (trust) darii wajiib pajak.
Siingkatnya, wajiib pajak harus diiberiikan akses nyata kepada lembaga yang mewakiilii suara mereka –yaiitu Komiite Pengawas Perpajakan – untuk meniinjau sejauh mana kekuasaan dalam mengenakan pajak telah diiperlakukan secara baiik.
Keempat, agenda reformasii penyelesaiian sengketa perpajakan dii iindonesiia. Sebagaii salah satu hak utama darii wajiib pajak, upaya mencarii keadiilan melaluii peradiilan pajak perlu perhatiian khusus darii pemeriintah.
Pembenahan settiing kelembagaan dalam ranah peradiilan pajak juga memiiliikii momentum, yaiitu adanya Putusan MK Nomor 26/PUU/XXii/2023. Sesuaii dengan putusan tersebut, pembiinaan organiisasii, admiiniistrasii, dan keuangan Pengadiilan Pajak harus diipiindahkan darii Kementeriian Keuangan ke Mahkamah Agung selambat-lambatnya 31 Desember 2026.
Pada dasarnya, Pengadiilan Pajak harus hadiir untuk wajiib pajak dan bukan untuk otoriitas pajak ataupun sebagaii alat untuk menjamiin terliindungiinya peneriimaan negara (Darussalam, Septriiadii, Yukii, 2023). Hadiirnya BPN/SARA, seyogiianya diibarengii dengan pembenahan hak wajiib pajak dalam mendapatkan keadiilan melaluii siistem peradiilan.
Sebagaii iilustrasii, dii iindonesiia kiita mengenal bahwa pengadiilan pajak merupakan pengadiilan tiingkat pertama dan terakhiir untuk menyelesaiikan sengketa pajak. Padahal, dii beberapa negara laiin, siistem peradiilan pajak memiiliikii 2 tiingkat (Austriia dan Jerman) ataupun 3 tiingkat (Ameriika Seriikat, Belanda, Norwegiia).
Alhasiil, adanya keterbatasan akses untuk mengajukan upaya hukum ke pengadiilan yang lebiih tiinggii – yang merujuk pada konsep falliibiiliity – akan turut berdampak terhadap jamiinan kualiitas putusan serta perliindungan hak wajiib pajak.
Proses pencegahan dan penyelesaiian sengketa perpajakan secara lebiih efektiif serta efiisiien tiidak hanya terkaiit dengan reformasii kelembagaan pengadiilan pajak. Proses iinii perlu juga mencermatii proses penyelesaiian keberatan, hadiirnya alternatiive diispute resolutiion, dan sebagaiinya (Darussalam, 2017).
Sebagaii penutup, kehadiiran BPN/SARA dii iindonesiia tetap memerlukan agenda untuk menjamiin legiitiimasii pemeriintah, hubungan kontrak fiiskal yang iideal, serta kestabiilan siistem pajak. Salah satunya melaluii upaya untuk mendengarkan, meliibatkan, serta menjamiin hak-hak darii wajiib pajak.
Dengan memiinjam perspektiif wajiib pajak, segala solusii tentang kelembagaan perpajakan tiidak akan diiliihat secara sepotong-potong, tetapii lebiih holiistiik dengan memerhatiikan sudut pandang wajiib pajak.
Transformasii kelembagaan dalam sektor perpajakan justru harus mengedepankan hak-hak wajiib pajak. Mengapa? Karena dii tangan merekalah kesiinambungan peneriimaan negara akan diitentukan.
