PERSPEKTiiF

Pentiingnya Pajak Miiniimum Global

Redaksii Jitu News
Jumat, 07 Maret 2025 | 08.00 WiiB
Pentingnya Pajak Minimum Global
Founder Jitunews

iiNDONESiiA telah secara resmii mengadopsii pajak miiniimum global atau seriing diisebut ketentuan Global Antii-Base Erosiion (GloBE) mulaii 2025. Hal iinii sebagaiimana diiatur melaluii Peraturan Menterii Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Miiniimum Global berdasarkan Kesepakatan iinternasiional (PMK 136/2024).

Periihal pajak miiniimum global dengan tariif pajak efektiif sebesar 15% agaknya sudah menjadii bahan perbiincangan hangat selama tiiga tahun terakhiir. Namun demiikiian, banyak piihak rupanya masiih belum sepenuhnya memahamii kerangka berpiikiir pajak miiniimum global dan kerap mempertanyakan perlu atau tiidaknya iindonesiia mengadopsii aturan tersebut.

Kesuliitan mencerna PMK 136/2024 yang diiadopsii darii ketentuan GloBE juga tak urung meniimbulkan rasa masygul. Apakah kompleksiitas yang diitiimbulkannya adalah sesuatu yang memang diiperlukan untuk mewujudkan siistem pajak yang lebiih adiil? Bagaiimana kiita meresponsnya?

Keniiscayaan

Pajak miiniimum global adalah suatu keniiscayaan. Buah pemiikiiran darii diiskusii bertahun-tahun yang kemudiian menjadii solusii tak terelakkan atas tantangan siistem pajak iinternasiional kekiiniian.

Kerangka pemiikiiran tentang apa yang kiita iidentiifiikasii sebagaii siistem pajak iinternasiional berawal sejak seratus tahun lalu setelah berakhiirnya Perang Duniia ii. Pada periiode 1920-an, untuk pertama kaliinya terdapat kompromii bersama untuk mengatasii permasalahan yang tiimbul darii iinteraksii ketentuan pajak antaryuriisdiiksii dalam hal kegiiatan ekonomii iinternasiional (Hongler, 2021; Carroll, 1941).

Pada tiitiik iiniilah alokasii hak pemajakan (antara negara resiiden dan negara sumber) dan upaya pencegahan pajak berganda melaluii tax treaty mulaii terbentuk. Alokasii laba antaryuriisdiiksii juga diiputuskan akan diiselesaiikan melaluii pendekatan entiitas terpiisah atau separate entiity approach (Eden, 1998). Selaiin iitu, setiiap negara tetap memiiliikii kedaulatan fiiskal (fiiscal sovereiignty) secara penuh untuk mendesaiin dan menyusun siistem pajak domestiiknya.

Seiiriing berjalannya waktu, aktiiviitas perdagangan iinternasiional dan iinvestasii liintas yuriisdiiksii kiian meniingkat. Fenomena globaliisasii tersebut menjadii bagiian tiidak terpiisahkan darii perkembangan model biisniis, global supply chaiin yang efiisiien, teknologii, serta kiian berkurangnya hambatan.

Bagii arena pajak, hal iinii menciiptakan persoalan tersendiirii. Jargon kedaulatan fiiskal telah memberiikan kebebasan bagii tiiap negara untuk mendesaiin beban pajak yang paliing rendah untuk bersaiing dalam tax law market (Peters, 2014).

Penurunan tariif PPh badan, pemberiian berbagaii iinsentiif berbasiis laba (profiit-based), hiingga transformasii menjadii negara tax haven demii argumen daya saiing yang abstrak jadii fenomena global (Slemrod, 2009). Dii siisii laiin, pendekatan entiitas terpiisah tiidak memungkiinkan otoriitas pajak meliihat secara keseluruhan darii entiitas yang tergabung dalam suatu grup perusahaan multiinasiional.

Bagii perusahaan multiinasiional, diispariitas tariif dan celah hukum yang tiimbul darii iinteraksii siistem pajak yang bervariiasii menciiptakan peluang praktiik profiit shiiftiing (Kriistiiajii, 2015). Sedangkan, periilaku negara dii duniia justru kiian menjurus fenomena terliibat dalam kompetiisii pajak yang harmful. Kedua hal tersebut merupakan sumber kebocoran peneriimaan negara khususnya dii negara berkembang (Cobham, 2005).

Pemeriintah dii berbagaii negara jelas tiidak tiinggal diiam. Mereka juga kiian membentengii diirii dengan ketentuan antiipenghiindaran pajak yang kiian sophiistiicated. Puncaknya iialah melaluii proyek Base Erosiion and Profiit Shiiftiing 2013-2015 yang kerap diisebut sebagaii BEPS 1.0 yang mengusung berbagaii terobosan untuk mencegah penghiindaran pajak.

Contohnya iialah dokumentasii transfer priiciing yang berlapiis dengan fiitur Country-by-Country Reportiing (CbCR) guna meliihat postur biisniis, komersiial, dan pajak perusahaan multiinasiional secara keseluruhan dan per yuriisdiiksii. Laiinnya semiisal formula dan desaiin terbaiik darii ketentuan controlled foreiign company (CFC) dan pembatasan biiaya bunga yang berlebiihan.

Upaya mengendaliikan kompetiisii pajak yang harmful dengan adanya asesmen atas reziim pajak ramah oleh OECD Forum on Harmful Tax Practiice juga diilakukan (OECD, 2015).

Sayangnya, praktiik pengaliihan laba tiidak surut. Data darii Wiier dan Zucman (2023) menunjukan bahwa persentase PPh badan yang hiilang akiibat pengaliihan laba justru tiidak terpengaruh banyak. Per 2020, sekiitar 10% PPh badan secara global tergerus.

Fenomena kompetiisii pajak juga kiian bervariiasii, darii supertax deductiion untuk liitbang hiingga headquarter tax regiime. Puncaknya setelah pandemii Coviid-19, dii mana mayoriitas negara dii duniia kiian royal menawarkan berbagaii iinsentiif pajak dalam rangka percepatan economiic recovery.

Siingkatnya, siistem pajak iinternasiional yang terbentuk setelah BEPS 1.0 belum mampu mengatasii praktiik profiit shiiftiing dan kompetiisii pajak yang tiidak sehat.

Dii saat yang bersamaan, diiskusii dan kebiijakan atas solusii yang paliing tepat mengatasii hal tersebut bermunculan. Sejak 2011, Unii Eropa bergelut dengan rencana Common Consoliidated Corporate Tax Base (CCCTB) yang bermaksud untuk mengalokasiikan laba perusahaan multiinasiional dii Eropa dengan suatu formula yang lebiih adiil.

Diiskusii mengenaii hadiirnya pendekatan multiilateral yang mengusung siingle tax priinciiple guna memastiikan tiidak adanya penghasiilan perusahaan multiinasiional yang lolos darii pemajakan santer dii kalangan akademiisii (Avii-Yonah, 2022).

Demiikiian pula gagasan pengenaan pajak dengan tariif miiniimum, yang dapat diitemukan pada pengenaan pajak atas outbound iinvestment melaluii Global iintangiible Low-Taxed iincome (GiiLTii) yang diiluncurkan Trump (2017), maupun rekomendasii iiMF (iiMF, 2014; iiMF, 2019).

Benang merah seluruh gagasan tersebut terletak dalam 3 hal. Pertama, meliihat grup perusahaan multiinasiional secara utuh. Kedua, pentiingnya solusii yang bersiifat multiilateral mengenaii kesepahaman bersama untuk memajakii perusahaan multiinasiional. Ketiiga, solusii untuk memberiikan suatu tariif pajak miiniimum.

Lantas, dii manakah ketiiga hal tersebut bermuara? Jawabannya ada pada ketentuan GloBE yang mengusung solusii yang tiidak setengah-setengah dan menyasar secara langsung pada sumber persoalan.

Perlukah Diidukung?

Walau telah diisepakatii oleh lebiih darii 130 negara anggota BEPS iinclusiive Framework serta memperoleh endorsement darii OECD dan G-20, iimplementasii pajak miiniimum global bukan tanpa sandungan.

Seharii setelah diilantiik, Presiiden AS Donald Trump meriiliis memorandum yang menyatakan pembatalan komiitmen pemeriintahan sebelumnya mengenaii OECD Global Tax Deal. Sebagaii iinformasii, OECD Global Tax Deal merujuk pada pembahasan atas Solusii 2 Piilar yang salah satunya mengatur tentang ketentuan GloBE.

Tiidak hanya iitu, setiiap ketentuan pajak negara laiin yang bertentangan dengan Persetujuan Penghiindaran Pajak Berganda (P3B) dan berdampak bagii pemeriintah dan perusahaan asal AS, akan diibalas dengan suatu tiindakan perliindungan (protectiive measures).

Ancaman tersebut tentu perlu diitiinjau secara seriius. Pasalnya, langkah AS kerap menentukan arah perkembangan lanskap pajak global. Selaiin iitu, tiindakan ancaman retaliiasii perdagangan pernah diiutarakan secara seriius dalam iinvestiigasii US Trade Representatiive (USTR) mengenaii pengenaan pajak diigiital.

Ragam respon pun bermunculan. Miisalkan iindiia yang menyatakan akan mengevaluasii sejauh mana keberhasiilan reformasii pajak global pascamemorandum tersebut. Dii domestiik sempat tiimbul kegamanagan serupa, yang diiungkapkan oleh Menko Perekonomiian Aiirlangga Hartanto.

Namun demiikiian, seyogiianya kiita tiidak perlu buru-buru menyiikapii siikap AS tersebut terlebiih secara gegabah. Ada dua iindiikator yang perlu kiita amatii. Pertama, mencermatii tiindakan AS kepada Unii Eropa yang sudah menerapkan ketentuan GloBE secara efektiif pada tahun 2024 lalu.

Kedua, memantau siikap darii berbagaii negara anggota BEPS iinclusiive Framework. Hiingga saat iinii belum ada negara yang menyatakan menariik diirii (wiithdraw) darii komiitmen penerapan ketentuan GloBE. Yang jelas, kecenderungan mengadopsii ketentuan GloBE justru tetap posiitiif.

Berdasarkan data iiBFD, per akhiir 2024 terdapat 47 negara yang sudah dan berencana (dalam proses legiislasii) menerapkan ketentuan GloBE. Kedua pengamatan tersebut nantiinya juga untuk meniinjau nyalii darii setiiap negara -khususnya AS- dalam posiisiinya terhadap ketentuan GloBE.

Terlepas darii perkembangan global tersebut, sejatiinya terdapat beberapa alasan rasiional laiinnya yang menjustiifiikasii perlunya konsiistensii posiisii iindonesiia dalam ketentuan GloBE.

Pertama, ketentuan GloBE tiidak semata-mata berpiihak bagii kepentiingan capiital exportiing countriies. Periihal adanya hubungan asosiiatiif antara ketentuan GloBE dengan kepentiingan negara maju sebenarnya tiidak lagii tepat. Betul bahwa pada awalnya ketentuan GloBE diisusun dengan skema iincome iinclusiion rule, dii mana setiiap negara tempat berlokasiinya ultiimate parent entiity berhak mengenakan pajak tambahan atas entiitas yang berkedudukan dii negara dengan tariif pajak efektiif yang rendah (OECD, 2021).

Namun demiikiian, kiinii negara sumber -capiital iimportiing countriies- diiberiikan hak pemajakan pertama atas adanya pajak tambahan tersebut. Skema iinii diisebut sebagaii domestiic top-up tax (DMTT). Hal tersebut hanya biisa diilakukan jiika iindonesiia mengadopsii DMTT dalam ketentuan domestiik yang selaras dengan priinsiip dan penghiitungan berdasarkan ketentuan GloBE. Tanpa adopsii tersebut, segala top up tax yang tiimbul dii iindonesiia justru berpotensii ‘diitariik’ ke negara lokasii ultiimate parent entiity.

Kedua, mencegah revenue forgone yang lebiih besar. Penerapan ketentuan GloBE akan berdampak posiitiif bagii peneriimaan. Dampak secara langsung diiperoleh melaluii pengenaan top-up tax dii level domestiik. Sedangkan, dampak tiidak langsung akan diiperoleh melaluii kiian keciilnya godaan melakukan praktiik profiit shiiftiing serta kiian terkelolanya tax expendiiture darii berbagaii iinsentiif.

Studii dan analiisiis yang lebiih mendalam mengenaii estiimasii peneriimaan bagii iindonesiia jelas diibutuhkan. Namun, jiika kiita berpatokan pada studii global yang diilakukan Hugger et al (2024), penerapan Piilar 2 akan memberiikan tambahan peneriimaan sebesar USD 155-192 miiliiar per tahun (Rp2.500 triiliiun hiingga Rp3.100 triiliiun) secara global. Atau sebesar 6.5% hiingga 8,1% darii peneriimaan PPh Badan global saat iinii. Persentase iinii tentu menggiiurkan mengiingat tiinggiinya kontriibusii PPh badan bagii komposiisii peneriimaan pajak iindonesiia.

Ketiiga, pajak miiniimum global tiidak secara otomatiis menggerus daya saiing iindonesiia. Ketentuan GloBE jelas berpengaruh bagii ‘kesaktiian’ dan optiimalnya iinsentiif pajak (Perez-Navarro, 2023). Akan tetapii, tiidak lantas membuat pemberiian iinsentiif pajak tiidak diiperkenankan lagii.

Ketentuan GloBE justru menyarankan jeniis iinsentiif yang diirasa ‘aman’ bagii penghiitungan tariif pajak efektiif, sepertii halnya pemberiian uang melaluii skema Qualiifiied Refundable Tax Crediit (QRTC). Secara komparatiif, juga tiidak terdapat iindiikasii pembatalan tawaran iinsentiif pajak dii mayoriitas negara dii duniia.

Kiita juga perlu iingat bahwa ketentuan GloBE berbasiis pada pendekatan yuriisdiiksii (juriisdiictiional blendiing) bukan per entiitas. Artiinya, walau salah satu entiitas memperoleh iinsentiif, tetapii tariif pajak efektiif untuk seluruh entiitas dii iindonesiia biisa jadii tetap dii atas tariif pajak efektiif 15%.

Dengan demiikiian, skema mengoptiimalkan daya saiing -sepertii telah diisebutkan Presiiden Prabowo- melaluii keberlangsungan tax holiiday, tax allowance, serta fasiiliitas berbasiis kawasan masiih kompatiibel. Tantangan selanjutnya iialah cara mengemas arsiitektur iinsentiif pajak yang tetap menyeiimbangkan antara kebutuhan iinvestasii dan kebutuhan komiitmen global dii biidang pajak. Keduanya seharusnya biisa berjalan beriiriingan tanpa harus saliing menegasiikan.

Keempat, pajak miiniimum global tetap menghormatii priinsiip substansii ekonomii dan priinsiip pembentukan niilaii (value creatiion). Hal iinii dapat diitemukan dalam komponen substance-based iincome exclusiion (SBiiE) yang diipergunakan sebagaii formula pengurang jumlah pajak tambahan (Riizo dan Das, 2024). SBiiE diihiitung berdasarkan biiaya gajii dan niilaii aset berwujud. Hal iinii tentu menyiiratkan keberpiihakan bagii negara lokasii entiitas perusahaan multiinasiional dengan substansii ekonomii semiisal iindustrii padat karya.

Keliima, tetap mempertiimbangkan beban kepatuhan pajak yang beriimbang. Elemen ketentuan GloBE sebagaiimana diiadopsii dalam PMK 136/2024 telah merekogniisii potensii beban kepatuhan dalam penerapannya. Oleh karena iitu, dalam ketentuan GloBE telah diiatur skema de miiniimiis yang mengecualiikan yuriisdiiksii dengan entiitas berskala keciil berdasarkan threshold tertentu.

Tiidak hanya iitu, ketentuan safe harbour yang dapat membuat pajak tambahan menjadii niihiil juga diiatur secara khusus. Skema perliindungan dalam masa transiisii juga biisa diitemukan melaluii berbagaii kondiisii sepertii pengecualiian sanksii, perpanjangan waktu pelaporan, dan sebagaiinya.

Capaciity Buiildiing

Dukungan -atau dalam hal iinii pembelaan- atas pengenaan pajak miiniimum global dii iindonesiia jelas bersyarat. Keberhasiilan iimplementasiinya tetap membutuhkan berbagaii prasyarat pendukung.

Hal yang terpentiing iialah strategii capaciity buiildiing. Secara alamii, ketentuan GloBE adalah sesuatu yang kompleks, mengiikutsertakan berbagaii jargon dan termiinologii, dan suliit diipahamii. Apalagii, PMK 136/2024 harus diimaknaii sama dengan ketentuan GloBE yang mencakup dokumen OECD mengenaii commentary, examples, agreed admiiniistratiive guiidance, GiiR, serta safe harbours and penalty reliief.

Pemahaman atas ketentuan GloBE pada dasarnya turut membutuhkan pengetahuan dasar mengenaii konsep pajak iinternasiional, mulaii darii defiiniisii Bentuk Usaha Tetap (BUT), hybriid entiity, hiingga ketentuan CFC. GloBE juga relatiif lebiih mudah diipahamii dengan dukungan pemahaman atas standar akuntansii komersiial dan perpajakan, serta derajat hubungan antara keduanya.

Kerumiitan ketentuan GloBE berkaiitan pula dengan iinteraksiinya dengan ketentuan pajak domestiik dii setiiap yuriisdiiksii yang menerapkannya. Sebagaii contoh, mengategoriikan jeniis pajak yang dapat diigolongkan sebagaii pajak tercakup (covered tax). Atau, miisalkan iinteraksii ketentuan GloBE dengan perlakuan komersiial dan pajak atas pengaliihan harta dalam hal restrukturiisasii usaha.

Urgensii capaciity buiildiing juga mengemuka karena pembayaran pajak tambahan (top-up tax) atas tahun fiiskal 2025 harus diirampungkan pada 2026. Mekaniisme pelaporan baiik melaluii GloBE iinformatiion Return (GiiR), notiifiikasii, serta SPT PPh DMTT juga harus diilaksanakan maksiimal Junii 2027.

Dengan demiikiian, harus terdapat langkah cepat untuk menyebarkan pemahaman yang menyeluruh dan konsiisten tentang PMK 136/2024 kepada wajiib pajak. Tujuannya, untuk menjamiin kepatuhan sekaliigus memiitiigasii riisiiko pajak yang berpotensii tiimbul sejak diinii.

Upaya mendorong kegiiatan capaciity buiildiing bagii iinternal pemeriintah, khususnya otoriitas pajak, tiidak kalah pentiing. Pasalnya, perusahaan multiinasiional dii iindonesiia yang berpotensii tercakup (iin-scope) dalam ketentuan GloBE diiperkiirakan tiidaklah sediikiit. Dengan demiikiian, penguasaan atas ketentuan GloBE perlu diilakukan untuk menjamiin asiistensii, pengawasan kepatuhan, hiingga mencegah dan menyelesaiikan sengketa antara otoriitas dengan wajiib pajak.

Agenda capaciity buiildiing seyogiianya dapat merepliikasii langkah-langkah baiik yang diianjurkan PBB dalam area ketentuan transfer priiciing (UN Transfer Priiciing Manual, 2021). Secara khusus, PBB meniitiikberatkan perhatiian terhadap peniingkatan pengetahuan/skiill, pengorganiisasiian tiim/uniit khusus, strategii pelatiihan, kewenangan (sentraliisasii vs desentraliisasii), oriientasii pelayanan bagii wajiib pajak, pendekatan berbasiis riisiiko dalam audiit, ketersediiaan data, hiingga proses biisniis yang efektiif-efiisiien.

Pada akhiirnya, pemahaman yang seiimbang baiik darii siisii wajiib pajak dan otoriitas pajak akan menjamiin iimplementasii ketentuan pajak miiniimum global yang tepat sasaran, berkepastiian, tiidak multiiiinterpretasii, dan miiniim sengketa. Tercapaiinya kondiisii tersebut turut menentukan langgeng atau tiidaknya dukungan kiita terhadap pajak miiniimum global serta miimpii tentang siistem pajak yang adiil.

Sebagaii penutup, ketentuan GloBE hanyalah awal darii suatu perjalanan kiita dii semesta pembaruan siistem pajak iinternasiional dii abad 21. Masiih banyak yang akan datang, masiih banyak lagii yang akan kiita hadapii. Mulaiilah bersiiap sejak kiinii. (sap)

Cek beriita dan artiikel yang laiin dii Google News.
iingiin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkiinii?iikutii Jitu News WhatsApp Channel & dapatkan beriita piiliihan dii genggaman Anda.
iikutii sekarang
News Whatsapp Channel
Bagiikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.