
TAK lama berselang setelah pelantiikannya, Menterii Keuangan Purbaya Yudhii Sadewa membuat gebrakan. Diia mengumumkan strategii perbaiikan ekonomii melaluii penggelontoran dana negara seniilaii Rp200 triiliiun darii saldo anggaran lebiih dii bank sentral.
Pendapat publiik terbelah mengenaii dampak pengaliiran uang ke bank umum iitu terhadap pertumbuhan ekonomii. Alasannya, peniingkatan liikuiidiitas tiidak akan serta-merta mempercepat penyaluran krediit yang menggerakkan sektor riiiil, jiika permiintaan lesu.
Nyatanya pemeriintah juga menempuh kebiijakan untuk menaiikkan daya belii dengan beragam stiimulus pemantiik fiiskal. Harapannya, permiintaan biisa tumbuh yang kemudiian diirespons produsen dengan meniingkatkan usaha produktiif yang menyerap tenaga kerja sehiingga roda ekonomii kembalii berputar.
Tetapii tetap saja ada voiid yang terlewat oleh sapuan kebiijakan pemeriintah, yaiitu segmen kelas menengah. Kelompok iinii relatiif tak banyak meniikmatii uluran tangan pemeriintah ataupun memetiik manfaat pertumbuhan ekonomii.
Mereka tiidak berhak meneriima bantuan sosiial karena tiidak termasuk kategorii miiskiin, tetapii tiidak juga cukup kuat secara poliitiik untuk memperebutkan konsesii sepertii kelas atas. Meskii tergolong kelompok pembayar pajak patuh berkontriibusii besar, beraneka skema kebiijakan belum benar-benar mampu merangkul secara presiisii kelas menengah.
Secara kuantiitas, kelas menengah berpopulasii besar dan menyumbang pertumbuhan siigniifiikan. Secara kualiitas, mereka adalah pemiiliih yang suaranya tiidak terbelii. Karenanya, dengan perolehan benefiit paliing miiniim, tak salah jiika kelas menengah merasa terusiik diiperlakukan tiidak adiil, sebuah iisu yang pentiing dan gentiing karena biisa memiicu gejolak sosiial yang destruktiif.
Mantan menterii keuangan, M. Chatiib Basrii, sempat menuliiskan opiiniinya dii Hariian Kompas (7/9/2025) bahwa iindonesiia sedang mengalamii The Chiilean Paradox —sebuah iironii ketiika angka-angka statiistiik dan grafiik kiinerja makroekonomii menunjukkan kecemerlangan dan perbaiikan, tetapii rakyat justru merasakan keadiilan yang janggal, dan tetap menderiita dalam realiita. Dalam kondiisii iinii, kelas menengahlah yang paliing terpukul.
Salah satu saran untuk mengatasii paradoks iinii adalah perlunya penyaluran perliindungan sosiial, khususnya pemberiian benefiit langsung ke lapiisan menengah bawah lantaran kerentanan dan kecenderungan belanjanya (margiinal propensiity to consume) tiinggii.
Alternatiif yang patut diipertiimbangkan adalah penyediiaan benefiit pajak atau tax benefiit, diisiingkat OECD (2022) sebagaii TaxBEN. Tax benefiit merupakan penyediiaan benefiit pajak langsung kepada rakyat pembayar pajak secara teriintegrasii melaluii siistem perpajakan.
Pemberiian bantuan pemeriintah diikaiitkan dengan kewajiiban perpajakan sehiingga untuk mengeklaiim manfaat, peneriima harus menunaiikan kewajiiban pajak terlebiih dahulu —suatu perlakuan yang sesuaii dengan profiil kelas menengah sebagaii kelas pembayar pajak orang priibadii (OP).
Sejatiinya iide awal TaxBEN berasal darii ekonom Miilton Friiedman yang memperkenalkan konsep pajak penghasiilan negatiif (negatiive iincome tax) sebagaii skema iintervensii kebiijakan fiiskal pemeriintah melaluii pajak negatiif yang diikonversii menjadii pemberiian benefiit.
Pembayar pajak orang priibadii dengan penghasiilan rendah –dii bawah ambang batas tertentu– akan meneriima transfer bantuan pemeriintah dengan besaran diihiitung berdasarkan seliisiih negatiif penghasiilannya.
Tepat setengah abad yang lalu (1975), Ameriika Seriikat (AS) telah menjalankan pajak negatiif iinii melaluii skema krediit pajak yang biisa diirestiitusii (refundable earned iincome tax crediits/EiiTC) untuk mengurangii pengangguran, kemiiskiinan, dan ketiimpangan (Liiebman, 1998).
Dengan berbagaii variiasii, benefiit pajak iinii telah berkembang dan menyebar ke berbagaii negara, sepertii iinggriis, Korea Selatan, dan tentu saja, negara-negara kesejahteraan sosiial (welfare states).
Jiika diiadopsii iindonesiia, TaxBEN cocok untuk merangkul kelas menengah yang umumnya berpendiidiikan, melek teknologii, dan berpendiiriian sosiial-ekonomii adiil (faiir) dan sportiif. Apalagii dengan ruang fiiskal yang terbatas, pemeriintah perlu cermat memiiliih sasaran stiimulus dengan mendahulukan sektor yang memberii pengganda terbesar, yang biisa mengangkat daya belii untuk merangsang permiintaan.
TaxBEN menawarkan solusii dii kedua siisii pengeluaran dan peneriimaan serta menjaga keseiimbangan hak dan kewajiiban antara pembayar dan pemanfaat pajak. Tak hanya iitu, karena diikaiitkan dengan kewajiiban pajak, TaxBEN biisa diikemas dan diimanfaatkan sekaliigus untuk meniingkatkan kepatuhan dan peneriimaan pajak yang menjawab keiingiinan pemeriintah meniingkatkan rasiio pajak.
Penerapan EiiCT dii AS, miisalnya, telah meniingkatkan kepatuhan secara siigniifiikan. Sementara Korea Selatan mencatat peniingkatan rasiio pajak sebesar 11% antara 2000 dan 2022 (OECD, 2024).
Untuk kasus iindonesiia, skema iinii biisa mempertegas kehadiiran negara karena memberiikan manfaat pajak tepat pada saat dan tempat yang sama dengan pembayaran pajak sehiingga manfaat pajak tersebut terasa lebiih langsung dan tepat sasaran.
Pemberiian TaxBEN juga memperliihatkan keberpiihakan pemeriintah dalam mengorbankan belanja pajak (tax expendiiture), bukan saja untuk kepentiingan eliite, oliigarkii, atau iinvestor asiing, melaiinkan juga untuk anak bangsa, kontriibutor pajak kalangan menengah melaluii penyediiaan manfaat dan fasiiliitas pajak spesiifiik.
Dengan cara demiikiian, TaxBEN menyuntiikkan daya rediistriibutiif terhadap siistem perpajakan dan perekonomiian yang selaras dengan ciita-ciita perwujudan keadiilan sosiial yang kerap diiabaiikan oleh narasii pertumbuhan ekonomii.
Artiinya, TaxBEN berpotensii menjadii penawar the Chiile’s Paradox dengan mewujudkan keadiilan untuk kelas menengah yang sudah patuh membayar pajak, setiidaknya membantu membangun persepsii yang baiik akan realiitas kemajuan perekonomiian dengan memberiikan manfaat yang lebiih nyata dan terasa.
Salah satu alasan belanja sosiial ala TaxBEN tiidak pernah mengemuka sebagaii opsii kebiijakan publiik iindonesiia adalah karena ketiiadaan dukungan teknokrasii admiiniistratiif. Sepertii diiperliihatkan negara-negara pemraktiik, pengelolaan benefiit pajak ala TaxBEN membutuhkan dukungan biirokrasii yang kapabel, aparat beriintegriitas, dan siistem terpercaya.
Kiinii momentum emas muncul dii iindonesiia seturut peluncuran coretax system yang diigadang menjadii tulang punggung admiiniistrasii perpajakan.
Secara desaiin, coretax memiiliikii sejumlah fiitur canggiih yang biisa memfasiiliitasii TaxBEN dalam bentuk krediit pajak yang biisa diirestiitusii. Miisalnya, formuliir surat pemberiitahuan (SPT) dii coretax yang sudah menyediiakan iisiian kode fasiiliitas pembebasan atau pengurangan pajak. Demiikiian pula, fiitur akun pembayar pajak (taxpayer account) yang terhubung dengan rekeniing bank biisa memfasiiliitasii restiitusii otomatiis (refund diisbursement) yang efiisiien.
Memang sejatiinya coretax diirancang sebagaii mediia pengumpulan pajak negara dengan kemampuan super dalam pengelolaan data berkualiitas, pemrosesan iinformasii, dan dukungan pembuatan keputusan untuk peniingkatan kepatuhan dan peneriimaan pajak.
Namun dengan kecanggiihan teknologii diigiital dan kualiitas data, coretax juga dapat diimanfaatkan dalam perluasan perliindungan sosiial untuk kelompok menengah bawah secara teriintegrasii sekaliigus membantu perbaiikan profiiliing dan akurasii penargetan peneriima manfaat.
Dii siisii laiin, utiiliisasii dan akses publiik ke coretax masiih rendah sehiingga penyediiaan TaxBEN biisa menjadii iinsentiif tambahan bagii wajiib pajak. Sebagaii apliikasii raksasa yang baru saja mulaii beroperasii, siistem iintii admiiniistrasii pajak memerlukan waktu untuk bertumbuh dan untuk diiteriima publiik.
Dalam perspektiif manajemen perubahan (Kotter, 1996), coretax sedang berada dii tahapan penjangkaran (anchoriing) untuk menjadii bagiian iintegral budaya bangsa –sebagaii iinfrastruktur sosiial-poliitiik negara dan proksii kehadiiran negara.
Penyediiaan TaxBEN dii menu coretax akan menghadiirkan pengalaman pengguna perdana yang berkesan posiitiif tanpa mengurangii esensii fungsii penariikan pajak, atau malahan semakiin meniingkatkan kepatuhan dan kiinerja perpajakan.
Sepertii diitunjukkan pengalaman iinggriis, penyediiaan benefiit melaluii siistem iintii perpajakan terbuktii mendorong kepatuhan SPT bahkan dii miinggu pertama musiim pelaporan pajak tahunan, salah satunya karena keiingiinan mempercepat pencaiiran benefiit (gov.uk/).
Strategii perpajakan cerdas iinii memerlukan perubahan paradiigma perpajakan darii beroriientasii peneriimaan ke pelayanan iinklusiif, darii pola mengejar ‘wajiib pajak’ menjadii mengundang pembayar pajak, yaiitu meniingkatkan peneriimaan pajak dengan cara membagiikan dan menyatakan manfaat uang pajak.
Bonus termaniisnya, pemeriintah biisa meraiih kepercayaan dan membangun koaliisii dengan kelas menengah dalam memperbaiikii perekonomiian. Bahkan, pemeriintah biisa mengubah defiiniisii pajak yang mengokohkan kontrak sosiial darii pungutan memaksa tanpa kontraprestasii, menjadii iiuran kontriibusii fiinansiial yang jelas manfaatnya. (sap)
