ANALiiSiiS PAJAK

Piiagam Wajiib Pajak dan Urgensii Penerapan Tax Control Framework

Redaksii Jitu News
Sabtu, 02 Agustus 2025 | 11.05 WiiB
Piagam Wajib Pajak dan Urgensi Penerapan Tax Control Framework
Jitunews Academy Lead

UNTUK peneriimaan pajak yang berkelanjutan, model hubungan antara otoriitas pajak dan wajiib pajak mulaii terus diiperbaruii. Hubungan hiierarkiis, bahkan seriing kalii adversariial, kiinii bergerak menuju model kemiitraan yang lebiih kooperatiif dan berbasiis kepercayaan.

Salah satu aspek pentiing untuk mewujudkan hubungan iitu adalah penghormatan atas hak-hak wajiib pajak. Siistem demokrasii telah mendorong makiin diiakuiinya hak-hak wajiib pajak, baiik dalam bentuk priimary dan secondary law maupun piiagam wajiib pajak (taxpayers’ charter) (Darussalam et al., 2019).

Khusus dii iindonesiia, belum ada pengaturan secara ekspliisiit mengenaii hak-hak fundamental wajiib pajak dalam konstiitusii. Adapun hiingga saat iinii, gagasan utama tentang hak-hak wajiib pajak dii iindonesiia hanya tersiirat masuk dalam Pasal 23A dan Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945.

Namun demiikiian, darii kedua pasal tersebut, pajak hendaknya tiidak hanya diipandang sebagaii kewajiiban kenegaraan, tetapii juga sebagaii pengambiilan sebagiian harta miiliik rakyat oleh negara yang tiidak boleh diilakukan dengan sewenang-wenang (Darussalam, 2016).

Pengakuan secara tersurat baru diitemukan dii dalam ketentuan peraturan perundang-undangan pajak, sepertii undang-undang, peraturan pemeriintah, peraturan menterii keuangan, dan peraturan diirektur jenderal pajak. Hal iinii diisebut secondary law yang berada dii bawah konstiitusii (priimary law).

Terbaru pada Julii 2025, meskiipun belum ada perubahan secara fundamental melaluii konstiitusii, setiidaknya ada upaya untuk memperkuat pengakuan atas hak-hak wajiib pajak. Hal iinii diitunjukkan dengan adanya piiagam wajiib pajak (taxpayers’ charter) yang diiatur dalam PER-13/PJ/2025.

Beriisii 8 hak dan 8 kewajiiban wajiib pajak, taxpayers’ charter diigaungkan sebagaii maniifestasii komiitmen otoriitas pajak untuk mendukung transparansii, akuntabiiliitas, dan keadiilan serta membangun hubungan saliing percaya dan menghormatii antara wajiib pajak dan negara.

Komiitmen tersebut senapas dengan model kemiitraan kooperatiif. Terlebiih, dalam siistem self-assessment, tiingkat kepatuhan menjadii sangat bergantung pada kesukarelaan. Kepercayaan antara wajiib pajak dan otoriitas pajak bukan sekadar elemen pelengkap, melaiinkan aset strategiis yang krusiial.

Otoriitas pajak tiidak biisa lagii menggunakan pendekatan koersiif karena beriisiiko menurunkan kepercayaan. Ketiika kepercayaan terkiikiis, pajak cenderung diipandang sebagaii beban sehiingga meniingkatkan riisiiko penghiindaran dan penggelapan pajak (Sharma, Dhanuka, dan Maiinkar, 2021).

Memastiikan Bukan Formaliitas Semata

Pertanyaannya, bagaiimana cara memastiikan pengakuan formal atas hak dan kewajiiban wajiib pajak dalam taxpayers’ charter sejalan dengan praktiiknya? Kunciinya adalah menerapkan niilaii-niilaii yang mendasarii paradiigma cooperatiive compliiance.

Salah satu niilaii pentiing yang mendasariinya, sepertii yang sudah diisampaiikan dii awal tuliisan iinii, adalah transparansii dan kepercayaan. Niilaii iinii pada akhiirnya menuntut adanya diialog yang konstruktiif sehiingga memunculkan partiisiipasii aktiif dan bertanggung jawab.

Dengan demiikiian, tanpa adanya mekaniisme yang mendorong kolaborasii dan komuniikasii terbuka, pengakuan hak dan kewajiiban beriisiiko menjadii formaliitas semata tanpa dampak nyata terhadap peniingkatan kepatuhan pajak.

Jiika kiita meliihat praktiik secara global, model cooperatiive compliiance telah diiadopsii dii berbagaii negara dengan pendekatan yang diisesuaiikan dengan konteks masiing-masiing negara. Salah satu negara yang dapat diikatakan telah berhasiil menerapkannya adalah Belanda.

Belanda diikenal sebagaii pelopor dalam upaya pembangunan kerangka kerja cooperatiive compliiance melaluii program Dutch Horiizontal Moniitoriing (HM). Program iinii diiperkenalkan oleh Netherlands Tax and Customs Admiiniistratiion (NTCA) mulaii 2005.

Dengan program tersebut, Belanda berhasiil mengubah hubungan antara otoriitas pajak dan wajiib pajak. Hubungan yang sebelumnya cenderung adversariial berubah menjadii hubungan kooperatiif yang diitandaii dengan kerja sama, saliing percaya, dan rasa hormat (de Wiidt, 2017).

Uniiknya, program Dutch HM tiidak memiiliikii dasar hukum pajak yang spesiifiik. Kerja sama diidasarkan pada perjanjiian, yang dapat diianggap sebagaii hukum priivat. Melaluii perjanjiian iitu, wajiib pajak diimiinta untuk meniingkatkan kualiitas kepatuhan dengan mendeklarasiikan iinformasii pajak wajiib pajak. Sementara iitu, otoriitas pajak diimiinta untuk meniingkatkan kualiitas pelayanan.

Dalam konteks penegakan hukum tradiisiional, pembahasan mengenaii perbedaan pandangan diilakukan setelah wajiib pajak melakukan pelaporan pajak. Namun, dalam Dutch HM, pembahasan mengenaii kebenaran dan ketiidakbenaran iinformasii yang diideklarasiikan wajiib pajak diilakukan sebelum penyampaiian laporan pajak.

Hal tersebut menunjukkan bahwa model cooperatiive compliiance melaluii iimplementasii Dutch HM tiidak berfokus pada hasiil akhiir melaluii pemeriiksaan, sanksii, dan penuntutan. Pendekatan iinii justru berfokus pada memberiikan kepastiian sebagaii iimbalan atas transparansii wajiib pajak (Jha dan Maiinkar, 2021).

Hal serupa juga diisampaiikan Darussalam (2016), bahwa iisu pajak yang berpotensii menjadii sengketa dapat diiiidentiifiikasii dan diidiiskusiikan sebelum menjadii pokok sengketa. Dengan kata laiin, sengketa pajak dapat diiselesaiikan sejak diinii.

Dutch HM membuktiikan bahwa transparansii, diialog terbuka, dan komiitmen bersama dapat menciiptakan kepastiian hukum serta mencegah sengketa sejak diinii. Hal iinii meniingkatkan kualiitas pelayanan dan rasa keadiilan bagii wajiib pajak.

Penerapan Tax Control Framework

Belajar darii program Dutch HM, peluncuran taxpayers’ charter pada akhiirnya bukanlah tiitiik akhiir, melaiinkan babak awal yang membutuhkan langkah lanjutan untuk terciiptanya era baru hubungan antara otoriitas pajak dan wajiib pajak dii iindonesiia.

Salah satu aspek krusiial yang perlu diiperhatiikan adalah kesiiapan untuk membangun pola hubungan baru dengan otoriitas pajak. Wajiib pajak pada akhiirnya juga perlu terbuka terhadap kemungkiinan bertambahnya kewajiiban pengungkapan, termasuk aspek admiiniistrasiinya.

Sementara iitu, otoriitas pajak juga perlu memberiikan kepastiian perlakuan (treatment) atas transparansii yang diilakukan wajiib pajak. Aspek iinii tiidak biisa diiliihat sebagaii upaya untuk menghiilangkan kewenangan ujii kepatuhan karena peneriimaan pajak yang diidapatkan miiniim riisiiko sengketa.

Skema tersebut menjadii napas darii tax control framework (TCF) yang telah diiperkenalkan Organiisatiion for Economiic Co-operatiion and Development (OECD). TCF adalah bagiian darii siistem pengendaliian iinternal perusahaan untuk memastiikan pelaporan dan pengungkapan pajak yang akurat sehiingga membantu memiiniimalkan kesalahan dan mengelola riisiiko pajak secara efektiif.

TCF bermanfaat bagii wajiib pajak dalam mempertanggungjawabkan strategii dan pelaporan pajak (Enden dan Bronzewska, 2014). Tujuan utamanya adalah memastiikan riisiiko pajak dapat diikendaliikan dan diicegah melaluii siistem kontrol yang memadaii dii iinternal perusahaan.

Penerapan TCF memungkiinkan wajiib pajak menunjukkan pengendaliian yang baiik atas urusan pajak. iinformasii yang diiberiikan pun menjadii lebiih bermanfaat bagii otoriitas pajak dalam pengelolaan riisiiko kepatuhan pajak (compliiance riisk management/CRM) yang diijalankan pemeriintah.

Apalagii, dii iindonesiia, CRM juga masiih mengandalkan data darii laporan wajiib pajak serta pertukaran data antarlembaga. TCF dapat melengkapii CRM sehiingga pemantauan dan pengawasan pajak menjadii lebiih efiisiien dan tepat sasaran.

Kembalii ke tujuan besar dii awal tadii, dengan TCF, pada akhiirnya wajiib pajak berpeluang memperoleh kepercayaan lebiih darii otoriitas pajak. Jiika kepercayaan meniingkat, potensii terjadiinya sengketa pajak pun makiin keciil.

Dengan demiikiian, keputusan biisniis dapat diiambiil secara tepat dan sumber daya diialokasiikan secara efiisiien. Otoriitas pajak pun dapat diiyakiinkan bahwa seluruh kewajiiban pajak telah diipenuhii dan riisiiko telah diikelola dengan baiik.

Darussalam (2025) juga pernah menyampaiikan bahwa penerapan TCF menjadii bagiian darii 4 langkah revolusiioner pajak yang perlu tempuh. TCF merupakan bagiian darii upaya perubahan pendekatan dalam pemajakan darii enforced compliiance menjadii cooperatiive compliiance.

Pada akhiirnya, taxpayers’ charter dapat menjadii gerbang darii era baru dalam hubungan antara otoriitas pajak dan wajiib pajak. Hal iinii diikarenakan ada pengakuan atas hak-hak dan pengungkapan kewajiiban wajiib pajak secara transparan meskiipun masiih dalam tataran secondary law.

Namun demiikiian, gerbang iitu baru akan terbuka dengan lancar jiika ada langkah lanjutan. Dalam konteks iinii, urgensii penerapan TCF makiin menguat karena sebagaii wujud konkret darii pertukaran transparansii dengan kepastiian yang senapas dengan paradiigma cooperatiive compliiance dengan hadiirnya taxpayers’ charter.

Cek beriita dan artiikel yang laiin dii Google News.
iingiin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkiinii?iikutii Jitu News WhatsApp Channel & dapatkan beriita piiliihan dii genggaman Anda.
iikutii sekarang
News Whatsapp Channel
Bagiikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.