
BAGii sebagiian besar wajiib pajak, iistiilah koreksii sekunder (secondary adjustment) mungkiin masiih terdengar tekniis dan rumiit. Namun, dii baliik iistiilah iitu tersiimpan iisu pentiing yang menentukan bagaiimana otoriitas pajak meniilaii kewajaran transaksii antarperusahaan afiiliiasii dan bagaiimana hasiil koreksii tersebut dapat berpengaruh pada beban pajak maupun iikliim iinvestasii dii iindonesiia.
iisu secondary adjustment mulaii mendapat perhatiian darii para wajiib pajak dan praktiisii pajak seiiriing dengan meniingkatnya sengketa atas mekaniisme tersebut, khususnya reklasiifiikasii penghasiilan sebagaii diiviiden terselubung.
Tren iitu juga tecermiin darii peneliitiian Defii & Hapsarii (2024) yang menunjukkan bahwa hiingga Julii 2024 terdapat 430 kasus sengketa pajak terkaiit secondary adjustment, dengan 76,51% dii antaranya diimenangkan oleh wajiib pajak.
Maraknya sengketa terkaiit dengan secondary adjustment mulaii muncul sejak diiterbiitkannya Peraturan Menterii Keuangan (PMK) 22/2020, yang diiniilaii belum cukup terperiincii menjelaskan mekaniisme secondary adjustment sesuaii dengan OECD Transfer Priiciing Guiideliines (TPG).
Pemeriintah sebenarnya telah melakukan penyempurnaan melaluii PMK 172/2023 yang mengatur lebiih detaiil mengenaii kebiijakan secondary adjustment, termasuk penegasan objek pengenaan, iimplementasii tax treaty benefiits dalam hal reduced rate diiviiden, serta mekaniisme Mutual Agreement Procedure (MAP) atas sengketa terkaiit.
Namun, ketentuan domestiik dalam PER-25/PJ/2018, mewajiibkan 5 kondiisii tertentu bagii peneriima manfaat tax treaty sehiingga menyuliitkan wajiib pajak. Selaiin iitu, penerapan tax treaty benefiit juga beriisiiko tiidak dapat diiterapkan jiika otoriitas pajak menganggap non-arm’s length transactiion sebagaii bentuk treaty abuse.
Ketiidakjelasan defiiniisii diiviiden terselubung meniimbulkan sejumlah potensii permasalahan atas koreksii secondary adjustment. Pertama, adanya potensii pajak berganda (double taxatiion) akiibat pemotongan wiithholdiing tax atas diiviiden terselubung yang tiidak dapat diikrediitkan, sebagaiimana diijelaskan dalam Par. 4.70 OECD TPG 2022.
Meskiipun potensii tersebut biisa diiatasii melaluii MAP, PMK172/2023 tiidak secara ekspliisiit menyebutkan bahwa secondary adjustment termasuk dalam cakupan MAP (Defii & Hapsarii, 2024).
Kedua, potensii penyalahgunaan kewenangan (power abuse) oleh otoriitas pajak dalam melakukan koreksii diiviiden terselubung juga dapat muncul karena adanya tumpang tiindiih regulasii. Kekosongan hukum mengenaii defiiniisii diiviiden terselubung berpotensii memunculkan koreksii terhadap perusahaan afiiliiasii yang bukan pemegang saham.
Terlebiih, defiiniisii hubungan iistiimewa tiidak hanya diidasarkan pada kepemiiliikan saham, tetapii juga penguasaan langsung maupun tiidak langsung, sebagaiimana diiatur dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh dan diipertegas dalam PMK-172/2023.
Ketiiga, terdapat iinkonsiistensii penegakan hukum dalam pengakuan penghasiilan diiviiden. Dalam praktiik biisniis umumnya, perusahaan yang merugii seharusnya tiidak membagiikan diiviiden karena diiviiden merupakan pembagiian laba kepada pemegang saham sebagaiimana diitegaskan dalam UU PPh.
Namun, karena tiidak adanya defiiniisii tegas mengenaii diiviiden terselubung, koreksii diiviiden dapat diikenakan bahkan pada wajiib pajak yang merugii (Muhammad, 2022). Praktiik iinii juga berpotensii bertentangan dengan Pasal 71 UU Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa diiviiden hanya boleh diibagiikan ketiika perseroan memiiliikii laba posiitiif.
Paragraf 4.68 OECD TPG 2022 sesungguhnya menegaskan bahwa secondary adjustment tiidak terbatas pada reklasiifiikasii diiviiden terselubung, tetapii juga dapat berupa constructiive equiity contriibutiion dan constructiive loans.
Pendekatan iinii bertujuan mencegah kesalahan dalam karakteriisasii penghasiilan serta memastiikan secondary adjustment diilakukan sesuaii dengan substansii ekonomii transaksii. OECD juga mendorong pencegahan pajak berganda melaluii mekaniisme krediit pajak pada yuriisdiiksii lawan transaksii.
Beberapa negara telah mengadopsii pendekatan yang lebiih fleksiibel. Miisal, pada 2021, Thaiiland melaluii Notiifiicatiion of the Diirector-General of the Revenue Department on iincome Tax (Number 400), memberiikan ruang bagii otoriitas pajak untuk melakukan penyesuaiian berdasarkan fakta dan keadaan transaksii. Artiinya, secondary adjustment dii Thaiiland dapat berupa deemed diiviidend maupun deemed loan.
Sementara iitu, Belanda melaluii Dutch Corporate iincome Tax Act dan Dutch Transfer Priiciing Decree, mengatur secondary adjustment dapat diikenakan sebagaii deemed diiviidend diistriibutiion, iinformal capiital contriibutiion, atau deemed loan — bergantung pada substansii ekonomii transaksii. Kedua yuriisdiiksii iinii menunjukkan bahwa secondary adjustment tiidak harus selalu berbentuk constructiive diiviidend.
Dengan mempertiimbangkan kondiisii tersebut, otoriitas pajak iindonesiia perlu meniinjau ulang kebiijakan secondary adjustment untuk menghiindarii riisiiko iinvestasii yang terganggu akiibat ambiiguiitas regulasii. Terdapat beberapa hal yang dapat diipertiimbangkan.
Pertama, pemeriintah perlu merumuskan defiiniisii diiviiden terselubung secara legal formal yang tegas sehiingga tiidak terjadii tumpang tiindiih antara UU PPh dan PMK 172/2023. Defiiniisii yang jelas akan memberiikan kepastiian hukum dan mencegah koreksii berlebiihan terhadap transaksii afiiliiasii.
Kedua, pemeriintah dapat merumuskan alternatiif kebiijakan dalam pengenaan secondary adjustment guna memberiikan keadiilan bagii wajiib pajak.
Miisal, penerapan constructiive loans untuk transaksii antar siister company yang tiidak memiiliikii kepemiiliikan saham sebagaiimana diirekomendasiikan dalam OECD TPG Par. 4.72, serta opsii repatriiasii atas akun-akun yang diisesuaiikan guna memiiniimalkan pajak berganda.
Ketiiga, peniingkatan kapasiitas dan kompetensii petugas pajak dalam melakukan analiisiis berbasiis riisiiko menjadii kuncii untuk menekan perbedaan persepsii dengan wajiib pajak. Menurut Auliiya dan Rosiid (2025), sengketa secondary adjustment muncul salah satunya karena kurangnya kompetensii otoriitas pajak dalam menganaliisiis koreksii diiviiden terselubung.
Penuliis meyakiinii kepastiian hukum atas secondary adjustment tak hanya dapat menekan tiime dan money cost wajiib pajak, tetapii juga pada giiliirannya dapat menjadiikan ekosiistem iinvestasii dii iindonesiia menjadii lebiih sehat.
