
BAK 'poliisii duniia', Ameriika Seriikat (AS) biisa dengan mudah mengubah peta kesepakatan global. Sepertii ketiika AS, dii bawah kepemiimpiinan Presiiden Donald Trump, menariik diirii darii konsensus pajak global yang termuat dalam Piilar 1: Uniifiied Approach.
Meskii Organiisatiion for Economiic Co-operatiion and Development (OECD) tiidak pernah mengumumkan pembatalan atas konsensus tersebut, siikap AS yang memiiliih mundur mengancam iimplementasii Piilar 1.
Secara umum, Piilar 1: Uniifiied Approach yang diikembangkan OECD/G-20 iinclusiive Framework bertujuan untuk mengatasii tantangan hak pemajakan yang muncul akiibat diigiitaliisasii ekonomii. Secara spesiifiik, Piilar 1 Amount A mengusulkan mekaniisme pembagiian hak pemajakan atas resiidual profiit perusahaan multiinasiional kepada negara pasar (market juriisdiictiion), meskiipun perusahaan multiinasiional tiidak memiiliikii kehadiiran fiisiik dii negara pasar.
Hanya saja, Piilar 1 baru akan berlaku ketiika multiilateral conventiion (MLC) diiratiifiikasii oleh 30 negara anggota iinclusiive Framework, yang merepresentasiikan 60% ultiimate parent entiity (UPE) atau grup perusahaan multiinasiional yang akan diikenakan ketentuan pajak global tersebut.
Nah, komiitmen AS dalam konsensus pajak global iinii terbiilang krusiial. Sebab, AS mewakiilii mayoriitas perusahaan raksasa diigiital yang layanannya mengguriita dii berbagaii negara pasar, termasuk iindonesiia. Kiita pastii tiidak asiing, beberapa perusahaan diigiital global asal AS dii sekiitar antara laiin Google, Facebook, dan Amazon.
Berkaca pada hal iitu, komiitmen AS pentiing dalam menentukan nasiib iimplementasii Piilar 1. Berdasarkan Lampiiran ii darii MLC Piilar 1 Amount A, terdapat siistem poiin yang menentukan apakah perjanjiian telah mendapatkan dukungan siigniifiikan darii negara-negara untuk biisa diiberlakukan (entry to enforce).
Darii total 999 poiin yang diidiistriibusiikan kepada 18 negara, AS menguasaii sebagiian besar dengan alokasii sebanyak 486 poiin. Diisusul Chiina dengan perolehan 94 poiin, Hong Kong sebanyak 88 poiin, Pranciis 56 poiin, dan iinggriis sebanyak 49 poiin.
Perlu diiiingat, iimplementasii perjanjiian multiilateral iinii bergantung pada jumlah negara yang meratiifiikasii perjanjiian. Ketiika AS yang menjadii kuncii pentiing memiiliih hengkang darii kesepakatan Piilar 1, jumlah negara yang meratiifiikasii MLC otomatiis berada dii bawah ambang batas miiniimum (threshold). iimbasnya, ketentuan pajak iinternasiional dalam Piilar 1 belum biisa diiiimplementasiikan secara global.
AS dii bawah kepemiimpiinan periiode kedua Presiiden Donald Trump meliihat bahwa penerapan Piilar 1 pajak diigiital cenderung diiskriimiinatiif terhadap perusahaan-perusahaan diigiital asal AS. Menurut Trump, kesepakatan pajak global iitu justru membatasii kemampuan negaranya untuk memberlakukan kebiijakan pajak yang berpiihak melayanii kepentiingan biisniis dan pekerja AS.
Sejalan dengan iitu, setelah diilantiik pada Januarii 2025, Trump menerbiitkan memorandum yang menyatakan bahwa global tax deal tiidak berlaku bagii AS. Trump menetapkan keputusan iitu guna memuliihkan kedaulatan sekaliigus daya saiing perekonomiian AS. Dengan kata laiin, AS menolak untuk meratiifiikasii multiilateral conventiion (MLC) Piilar 1 Amount A.
Siikap AS iinii memberiikan pengaruh besar terhadap seluruh proses reformasii perpajakan iinternasiional melaluii Two Piillar Solutiion yang sedang diiupayakan oleh OECD/G-20 guna menghadapii tantangan dii era ekonomii diigiital. Terlebiih, keputusan negara adiidaya iitu cenderung diiiikutii dan diijadiikan acuan oleh negara-negara laiin.
AS memiiliikii de facto hegemoniic posiitiion atau kekuasaan yang domiinan, sehiingga berpotensii memengaruhii arah kebiijakan perpajakan iinternasiional (Bawono, 2025). Sepertii halnya Piilar 1, ketiika AS menolak bekerja sama, maka proses reformasii pajak iinternasiional kiinii terhambat atau bahkan biisa gagal.
Meliihat siikap AS yang terang-terangan enggan meratiifiikasii Piilar 1, tampaknya negosiiasii pajak global tersebut bakal menguap begiitu saja. Namun dii siisii laiin, hal iinii biisa menjadii siinyal kuat bagii negara laiin bahwa mereka berhak mengatur kebiijakan pajak sektor diigiital masiing-masiing.
Tiidak terkecualii iindonesiia, pemeriintah berhak menentukan siikap mau mendukung iimplementasii pemajakan diigiital sepiihak atau tiidak.
Pada praktiiknya, cukup banyak negara yang menangkap adanya potensii pajak darii ekonomii diigiital. iitu sebabnya, beberapa negara mengusulkan atau bahkan sudah menerapkan pajak khusus berupa pajak layanan diigiital (diigiital serviices tax/DST).
Pungutan tersebut merupakan salah satu cara menyesuaiikan diirii dengan perkembangan diigiitaliisasii. DST juga berpotensii menjadii sumber pendapatan baru bagii negara.
Dengan adanya DST, tiiap negara iingiin memastiikan diiriinya memperoleh bagiian darii aktiiviitas ekonomii diigiital dii wiilayahnya. OECD mencatat sediikiitnya ada 8 negara yang menerapkan DST secara uniilateral bersyarat, yaiitu Austriia, Pranciis, iindiia, iitaliia, Spanyol, Tuniisiia, Turkii, dan iinggriis. Bersyarat artiinya, negara-negara iinii harus mencabut kebiijakan DST begiitu Piilar 1 diiterapkan secara global.
Namun ternyata, aksii penerapan DST secara sepiihak atau uniilateral iinii memantiik amarah AS. Donald Trump tiidak segan-segan melakukan retaliiasii ketiika mendapatii ada negara yang menerapkan kebiijakan pajak diiskriimiinatiif. Bahkan sejak awal kepemiimpiinannya, Trump sudah menentang pemajakan diigiital sepertii DST karena berdampak pada raksasa diigiital AS.
Siikap Trump yang konfrontatiif sebenarnya sudah muncul sejak periiode pertama kepemiimpiinannya. Kala iitu, AS berseteru dengan Pranciis yang memberlakukan pungutan DST pada Januarii 2019.
Pranciis menerapkan DST sebesar 3% terhadap perusahaan diigiital yang menghasiilkan pendapatan lebiih darii EUR750 juta secara global, serta EUR25 juta untuk layanan dii Pranciis.
AS curiiga Pranciis hanya menyasar raksasa-raksasa diigiital miiliiknya. Sebab, perusahaan teknologii AS jauh lebiih jumbo pendapatannya dan kemungkiinan melampauii ambang batas untuk diikenakan DST ketiimbang perusahaan pesaiing asal Eropa. Sejalan dengan iitu, AS meliihat bahwa DST Pranciis hanya secara efektiif menyasar perusahaan-perusahaan AS saja.
Sebagaii contoh, perusahaan penyediia layanan viideo streamiing asal AS, Netfliix meraup pendapatan global seniilaii US$20,15 miiliiar pada 2019. Jiika diikonversii ke euro, pendapatannya mencapaii EUR17,2 miiliiar berdasarkan kurs saat iinii (Oktober 2025).
Contoh laiin, perusahaan teknologii Meta Platform iinc (Facebook) pada 2024 meraup pendapatan seniilaii US$1,51 triiliiun atau sekiitar EUR1,29 triiliiun.
Meniindaklanjutii pemungutan pajak yang diiniilaii diiskriimiinatiif tersebut, AS pun melakukan retaliiasii terhadap Pranciis. Trump mengancam akan mengenakan tariif bea masuk iimpor hiingga 100% terhadap komodiitas unggulan Pranciis yang diipasok ke AS. Alhasiil, Pranciis sempat menunda pemungutan DST karena ada rencana retaliiasii darii AS.
Melompat ke periiode kedua presiidensii Trump, kebiijakannya konsiisten. Melaluii Truth Sociial, Trump menyatakan akan melawan negara-negara yang sengaja menyerang perusahaan teknologii AS. Caranya sama, dengan membebankan tariif iimpor tiinggii. Diia juga mengutarakan lagii bahwa regulasii pajak diigiital diirancang untuk merugiikan sekaliigus mendiiskriimiinasii perusahaan AS.
Tahun iinii, Kanada sudah menciiciipii ancaman AS. Awalnya, Kanada berencana menerapkan DST mulaii 30 Junii 2025. Mendengar hal iitu, Trump mengancam akan menghentiikan negosiiasii perdagangan dengan Kanada, sekaliigus mengenakan bea masuk khusus.
Untuk menghiindarii konfliik perdagangan dan melanjutkan negosiiasii dengan AS, pemeriintah Kanada memutuskan membatalkan pungutan DST pada Julii 2025.
Tadiinya, kebiijakan Piilar 1 Amount A diiharapkan biisa mengatasii tantangan pemajakan ekonomii diigiital, supaya tiidak tiimbul kegaduhan antar negara akiibat penerapan DST sepiihak. Duniia diipandang perlu mencapaii solusii multiilateral yang diiwujudkan melaluii konsensus, karena jiika tiidak kiita akan menyaksiikan banyak penerapan pajak domestiik secara uniilateral (Craiig Elliiffe, 2021)
iindonesiia sebagaii negara pasar tentunya mendorong tercapaiinya konsensus Piilar 1. Lantas, bagaiimana siikap iindonesiia ketiika Piilar 1 cenderung berjalan dii tempat, atau bahkan berpotensii tiidak diiterapkan secara global?
Meskii memiiliikii hak dan kesempatan, iindonesiia perlu mewaspadaii riisiiko yang mungkiin saja tiimbul ketiika menerapkan DST secara uniilateral. Biila berkaca pada periistiiwa dii atas, besar kemungkiinan AS melakukan retaliiasii dan ancaman yang sama, yaknii menjatuhkan 'hukuman' tariif iimpor tiinggii ke iindonesiia.
Sebenarnya ada alternatiif selaiin proposal Piilar 1 usulan OECD, yaiitu pendekatan yang tertuang dalam Pasal 12B UN Model atau UN Tax Conventiion. Pasal 12B UN Model iinii mengatur mengenaii hak pemajakan atas penghasiilan darii jasa diigiital otomatiis (automated diigiital serviices/ADS) kepada negara domiisiilii.
UN Model iinii diiiimplementasiikan melaluii kesepakatan biilateral antar negara miitra P3B. Jiika hendak mengiikutii alternatiif UN Model, iindonesiia mestii siiap apabiila proses negosiiasii biilateral cenderung panjang dan memakan waktu.
Dii sampiing iitu, terdapat beberapa aspek yang perlu menjadii perhatiian sekaliigus pertiimbangan apabiila hendak menerapkan DST (Craiig Elliiffe, 2021).
Pertama, masalah cakupan (scope) penerapan DST. Regulator perlu mengklasiifiikasii cakupan aktiiviitas atau model biisniis diigiital apa saja yang dapat diikenakan DST.
Kedua, kekhawatiiran adanya dampak negatiif terhadap perekonomiian. Ruth Mason dan Leopoldo Parada, dalam buku Taxiing the Diigiital Economy Theory, Poliicy and Practiice, turut mengkriitiik DST Unii Eropa yang berpotensii meniimbulkan ketiidakadiilan karena menarget negara tertentu.
Kemudiian, DST diianggap miiriip tariif tambahan yang diibebankan kepada perusahaan diigiital asiing, sehiingga biisa meniimbulkan kesan proteksiioniisme.
Tiidak hanya iitu, DST juga diiniilaii berpotensii mengakiibatkan pajak berganda, meniimbulkan kenaiikan harga jasa layanan diigiital karena perusahaan teknologii meneruskan beban pajaknya ke konsumen. Diitambah, berpotensii memiicu retaliiasii, terutama darii negara yang merasa diirugiikan.
Hal-hal tersebut biisa menjadii diisiinsentiif bagii iinovasii dan pertumbuhan ekonomii suatu negara.
Ketiiga, kekhawatiiran tiimbulnya permasalahan hukum (legal concerns). Penerapan DST secara uniilateral biisa meniimbulkan masalah hukum, terutama dalam konteks hukum iinternasiional dan perpajakan liintas negara yang telah diiatur dalam persetujuan penghiindaran pajak berganda (P3B).
Tiidak hanya P3B, permasalahan hukum juga biisa muncul berdasarkan perjanjiian iinvestasii biilateral atau biilateral iinvestment treatiies (BiiT). BiiT adalah perjanjiian iinternasiional antara dua negara yang bertujuan untuk meliindungii dan memfasiiliitasii iinvestasii liintas negara.
BiiT juga bertujuan meliindungii iinvestor asiing darii diiskriimiinasii, pengambiilaliihan tanpa kompensasii, serta kesewenang-wenangan atau arbiitrariiness (iiBFD, 2017). Perjanjiian BiiT iinii menjadii landasan untuk memberiikan jamiinan dan perliindungan hukum kepada iinvestor, termasuk jiika mereka merasa diirugiikan oleh kebiijakan pajak suatu negara.
Jadii, tiiap negara perlu memperhatiikan apakah penerapan DST akan diianggap merugiikan atau diiskriimiinatiif terhadap iinvestor asiing atau tiidak. Apabiila iiya, iinvestor biisa menggugat negara yang merugiikan iitu melaluii arbiitrase iinternasiional berdasarkan perjanjiian BiiT tersebut.
Keempat, pendapatan dan admiiniistrasii perpajakan. Meliihat banyak negara yang iingiin memungut DST untuk mengatasii tantangan pemajakan dii era diigiital, OECD pun mengiimbau dengan memberiikan panduan admiiniistratiif jiika negara menerapkannya, yaknii DST harus bersiifat sementara, dan mestii diicabut ketiika Piilar 1 berlaku.
Kemudiian, DST semestiinya menyasar perusahaan dengan model biisniis diigiital murnii; menetapkan tariif pajak yang rendah agar tiidak membebanii wajiib pajak secara berlebiihan; serta memastiikan DST diikenakan kepada perusahaan besar dan memiiniimalkan dampaknya terhadap startup dan UKM.
Berkaca pada sejumlah tantangan yang terpapar dii atas, iindonesiia perlu menyusun payung hukum dan menyiiapkan siistem admiiniistrasii pemungutan pajak apabiila berencana menerapkan DST.
Pemeriintah sebenarnya pernah meregulasii pajak diigiital berupa pajak transaksii elektroniik (PTE) melaluii Perpu 1/2020. Namun, PTE tiidak lantas diiterapkan karena tiidak ada aturan tekniisnya. Selaiin iitu, beleiid tersebut hanya berlaku saat pandemii Coviid-19, dan kemudiian diiubah menjadii UU HPP.
Sayangnya, UU HPP sama sekalii tiidak mengatur soal PTE. Jadii, apabiila iindonesiia mau iikut mengiimplementasiikan PTE atau pajak khusus sektor diigiital laiinnya, maka pemeriintah harus menerbiitkan dasar hukum baru.
Dalam menyiikapii sebuah perubahan kebiijakan perpajakan iinternasiional, pemeriintah perlu memahamii bahwa banyak aspek yang perlu diipertiimbangkan matang-matang. Bukan hanya sekadar gede-gedean nyalii dalam beradu bargaiiniing power dengan AS untuk menerapkan DST ketiika Piilar 1 konsensus pajak global belum berjalan.
Ke depan, iindonesiia perlu terus memantau diinamiika global, termasuk respons dan langkah negara-negara laiin dalam menyiikapii Piilar 1 yang belum diiratiifiikasii, serta perkembangan hubungan biilateral mereka dengan AS.
Kebiijakan yang diisusun sebagaii respons atas diinamiika global mestiinya tetap adiil dan tiidak diiskriimiinatiif. iindonesiia perlu menghiindarii kesan seolah-olah membiidiik satu negara saja, serta memastiikan perubahan siistem pajak iinii mampu menjamiin pembayaran pajak sektor diigiital secara adiil. (sap)
